Tugas Makalah
Sejarah
Peradaban Islam
Tentang:
“Dawlah
‘Abbasiyah”
Oleh Kelompok
8:
Rhoni :
14 131 046
Zelly Susanti :
14 131 062
Dosen
Pembimbing:
Arki Auliahadi, S.Hum., M.A.
Prodi Manajemen
Pendidikan Islam Jurusan Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
2015
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Berdirinya Dawalh ‘Abbasiyah Pendiri kerajaan Dawlah ‘Abbasiyah
ini ialah Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn al
‘Abbas, yang lebih dikenal dengan al
Shaffah. Latar
belakang berdirinya pemerintahan ‘Abbasiyah sangat erat kaitannya dengan
gerakan oposisi yang dilancarkan oleh golongan Syi’ah terhadap pemerintahan
Bani Umayyah. Golongan Syi’ah merasa tidak senang atas kebijaksanaan
pemerintahan Bani Umayyah, karena telah mendiskreditkan mereka dari masyarakat
umum. Namun kaum syi’ah sendiri pencah menjadi beberapa kelompok. Pada mulanya gerakan oposisi ini
memakai nama Bani Hasyim, belum menunjukan nama Syi’ah ataupun Bani ‘Abbas,
agar lebih banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Gerakan mereka ini
dilaksanakan melalui dua tahap, yakni:
1. Gerakan
Secara Rahasia dan Diam-Diam
Gerakan
ini dimulai oleh seorang putra ‘Ali sendiri, Abu al Qasim Muhammad ibn ‘Ali ibn
Abi Thalib al Hasyimiy, yang lebih dikenal dengan sebutan ibn al Hanafiyah.
Sebelum berdirinya Dawlah ‘Abbasiyah, terdapat tiga tempat yang merupakan pusat
kegiatan operasi. Ketiga tempat itu adalah Humaymah, Kufah, dan Khurasan.
Humaymah adalah tempat yang tentram, dan yang bermukim disana adalah keluarga
Bani Hasyim. Kufah adalah wilayah yang pendukungnya menganut aliran Syi’ah pendukung ‘Ali ibn Abi
Thalib. Khurasan mempunyai warga yang pemberani, kuat fisiknya, teguh
pendiriannya tidak mudah dipengaruhi oleh pemikiran yang berbeda dari pemikiran
mereka, dan gerakan penentang Bani Umayyah mendapat dukungan di sini. Khurasan
ini dipimpin oleh seorang tokoh yang terkenal, Abu Muslim ‘Abd al Rahman ibn
Muslim al Khurasaniy.
Kegiatan
oposisi ini makin meningkat pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al
‘Azis (99 – 101 H). Sebab khalifah ini terkenal dengan sifat dan sikap lemah
lembutnya dan tidak bertindak keras terhadap kaum oposisi. Pada tahun 129 H
(146 M), di masa pemerimtahan Khalifah Marwan ibn Muhammad al Amawiy, pernah
tertangkap sebuah surat rahasia dari Ibrahim ibn Muhammad ibn ‘Ali yang
ditujukan kepada Abu Muslim al Kurasaniy di Khurasan. Isinya antara lain menyebutkan
perintah Ibrahim bin Muhammad kepada Abu Muslim agar membunuh setiap orang
berbahasa Arab di Khurasan.
Setelah
mengetahui isi surat rahasia itu, maka Khalifah Marwan ibn Muhammad menangkap
Ibrahim ibn Muhammad dan memenjarakannya, sampai akhirnya dia wafat pada bulan
Shafar tahun 132 H ( September
749 M)
2.
Secara
Terang-Terangan dan Terbuka Sejak
tertangkapnya surat Ibrahim ibn Muhammad kepada Abu Muslim al Khurasaniy,
gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan makin bertambah luas
pengaruhnya. Bahkan pada malam Jum’at 13 Rabi’ al Akhir 132 H (26 November 749
M), takoh-tokoh oposisi ini telah membai’at Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn
Muhammad, yang ketika itu berusia sekitar 28 tahun sebagai khalifah di Kufah.
Dalam pidato pembai’atannya itu, Abu al ‘Abbas antara lain mengatakan:
“Saya
berharap semoga pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah ini akan mendatangkan kebaikan
dan kedamaian kepada kalian wahai penduduk Kufah, bukannya intimidasi,
kekerasan dan kezaliman. Wahai penduduk kufah, kalian adalah tumpuan kasih
saying kami. Kalian tidak pernah berubah pandangan, walaupun penguasa yang
zhalim (Bani Umayyah) telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian semua telah
dipertemukan Allah dengan Dawlah ‘Abbasiyah, maka oleh sebab itu jadilah kalian
orang-orang yang paling berbahagia dan yang paling kami muliakan. Ketahuilah
wahai penduduk kufah saya adalah Saffah”. Saat itu populerlah
gelar Abu al ‘Abbas dengan al Saffah artinya seorang penumpas. Keberhasilan
kaum oposisi dalam meruntuhkan pemerintahan Dawlah Bani Umayyah ini adalah
karena dukungan karena didukung oleh foktor geografis, faktor etnis, dan faktor
politis. Dari segi geografis, daerah yang menjadi kegiatan oposisi terhadap
Bani Umayyah adalah daerah Khurasan. Dari segi etnis, sikap pemerintahan Dawlah
Bani Umayyah yang terlalu memberi fasilitas dan meninggikan penduduk yang
berasal dari keturunan Arab, telah
menimbulkan kecemburuan sosial dikalangan penduduk yang bukan bangsa Arab yang
disebut dengan al Mawali. Dari segi politik pemerintahan Bani
Umayyah yang bercorak diskriminatif tersebut telah menimbulkan kerawanan
sosial, terutama antara golongan Arab dengan nan Arab. Oleh karena itu, tepat
sekali W. Montogomery Watt mengatakan bahwa kejatuhan Dawlah Bani Umayyah
adalah akibat keresahan dan ketidak puasan golongan non Arab, adanya kebencian
sebagian ulama dan meluasnya keinginan para juru selamat politik Islam yaitu
seorang politikus yang Kharismatik. Setelah resmi menjadi khlifah, Abu al ‘Abbas tidak mengambil kota
Damsakus sebagai pusat pemerintahannya, karena para pendukung Bani Umayyah
masih banyak yang tinggal di Damaskus, dan lagi pula, kota itu terlalu dekat
dengan kerajaan Byzantium yang merupakan ancaman bagi pemerintahannya. Dia
lebih suka memilih kota Hasyimiyah dekat dengan Kufah yang jauh dari Persia
sebagai pusat pemerintahannya. Kemudian khalifah yang kedua Abu Ja’far al
Manshur membangun kota Baghdad di dekat Ctesiphon, bekas ibukota kerajaan
Persia, dan pada tahun 144 H/ 762 M, Khalifah al Manshur menjadikan Baghdad
sebagai ibukota Dawlah ‘Abbasiyah yang baru.[1]
B.
Kedudukan Khalifah Sepanjang sejarah kekuasaan Bani
Abbasiyah, para khalifah adalah manusia biasa yang mempunyai titik kelemahan
dan titik kekuatan dalam sejarah hidupnya. Titik kekuatan dalam sejarah
pemerintahan Khalifah Abul Abbas adalah kemampuannya memadamkan perusuhan dan
pemberontakan yang meluas sejak penghujung masa kekuasaan Daulah Umayyah
(661-750 M) dan masa-masa permulaan kekuasaan Daulah Abbasiyah (750-1256 M)
hingga keamanan berangsur pulih kembali dalam wilayah Islam yang demikian
luasnya, dari perbatasan Thian Shan di sebelah Timur dan pegunungan Pyrenees di
sebelah Barat. Titik kelemahan Khalifah Abul Abbas
terletak pada kebijaksanaan pemerintahannya berdasarkan kekerasan, hingga
digelari dengan sebutan “penumpah darah” (al Saffah), sekalipun dalam banyak
hal ia memperlihatkan kebudimanan dan kedermawanan. Pada masa al Manshur, pengertian khalifah kembali berubah.
Dia berkata: “Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah
kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”. Dengan demikian, konsep khilafah dalam
pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al
Khulafa al Rasyidun. Disamping itu, berbeda dari daulah Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti
al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini lebih populer dari pada nama yang
sebenarnya.[2]
C.
Periodesasi
Pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah Dalam perkembangannya, pemerintahan
Dawlah ‘Abbasiyah ini dibedakan oleh beberapa ahli sejarah dalam beberapa
periode, para tokoh tersebut diantaranya:
1. Ali
Mufradi (dikutip dalam buku Sejarah
Peradaban Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal 231-232), membaginya
menjadi tiga periode yakni:
a. Periode
pertama tahun 132 – 232 M. Dalam periode ini kedudukan para khalifah ‘Abbasiyah
sangat kuat, ditopang olelh ulama besar yang saling bersilaturahmi dan
mengeluarkan fatwa serta banyak beritjtihad dan semua wilayah kekuasaan Islam berada
d tangan Dawlah ‘Abbasiayah, kecuali Andalusia berada di bawaah Dawlah Umayyah.
b. Periode
kedua tahun 233 – 590 H. Dalam periode ini, kekuasaan berada di tangan orang-orang
Persia dan Turki, yakni Bani Buwaih dan Bani Saljuk, sedangkan para khalifah
hanya menyendang gelar saja.
c. Periode
ketiga 590 – 656 H. Dalam periode ini
kekuasaan kembali berada di tangan para khalifah ‘Abbasiyah lagi, namun
wilayahnya telah menyempit, hanya disekitar kota Baghdad saja.
2. Syalabi
(dikutip dalam buku Sejarah Peradaban
Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal 232), juga membagi pemerintahan ‘Abbasiyah
itu kepada tiga periode yakni:
a. Periode
pertama (132 – 232 H). Pada periode ini kekuasaan berada di tangan para khalifah
dan seluruh wilayah Islam tunduk kepada khalifah ‘Abbasiyah kecuali Andalusia
yang dikuasai oleh Bani Umayyah.
b. Periode
kedua (232 – 590 H). Pada periode ini kekuasaan berpindah dari tangan para khalifah
kepada Kaum Turki.
c. Periode
ketiga (590 – 656 H). Pada periode ini kekuasaan telah kembali kepada khalifah
‘Abbasiyah, namun kedaulatannya hanya di Baghdad dan kawasan sekitarnya saja.
3. Badri
Yatim (dikutip dalam buku Sejarah
Peradaban Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal. 232-233), selama Dawlah
‘Abbasiyah ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan ‘Abbasiyah menjadi lima periode, yakni,
a. Periode
Pertama (132 – 232 H/ 750 – 847 M), disebut dengan periode pengaruh Persia yang
pertama.
b. Periode
Kedua (232 – 334 H/ 847 – 946 M), disebut dengan masa pengaruh Turki yang
pertama.
c. Periode
Ketiga (344 – 447 H/ 946 – 1055 M), periode ini disebut juga dengan pengaruh
Persia yang kedua.
d. Periode
Keempat (447 – 590 H/ 1055 – 1194 M), periode ini disebut juga pengaruh Turki
yang kedua.
e. Periode
Kelima (590 – 656 H/ 1194 – 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya di sekitar kota Baghdad saja.
4. Syeikh
Muhammad al Khudhiry, Guru Besar Ilmu Sejarah Islam dari Universitas Mesir
(dikutip dalam buku Sejarah Peradaban
Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal 233), membagi masa pemerintahan
Dawlah ‘Abbasiyah ini kepada lima masa atau periode, yakni:
a. Periode
Pertama (132 – 232 H), masa kuat-kuasa dan bekerja membangun.
b. Periode
Kedua (232 – 334 H), masa berkuasanya panglima-panglima Turki.
c. Periode
Ketiga (344 – 447 H), masa berkuasanya Bani Buwayhi.
d. Periode
Keempat (447 – 590 H), masa bekuasanya Bani Saljuk.
e. Periode
Kelima (590 – 656 H), masa gerak balik kekuasaan politik.
Bila diperhatikan secara seksama, memang lebih tepat
membagi masa pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah ini dalam lima periode, yakni:
1. Periode
Pertama (132 – 232 H/ 750 – 847 M), merupakan kejayaan Dawlah ‘Abbasiyah.
2. Periode
Kedua (232 – 334 H/ 847 – 946 M), merupakan masa ksekuasaan wazir-wazir Turki,
sedangkan para khalifah ‘Abbasiyah hanya jadi boneka dan sekedar menyandang
gelar saja.
3. Periode
Ketiga (344 – 447 H/ 946 – 1055 M), merupakan masa kekuasaan Bani Buwayhi dari Persia,
sedangkan para khalifah ‘Abbasiyah tetap jadi boneka dan sekedar menyandang
gelar saja.
4. Periode
Keempat (447 – 590 H/ 1055 – 1194 M), merupakan masa kekuasaan Bani Saljuk dari
Turki, sedangkan para khalifah ‘Abbasiyah masih jadi boneka dan sekedar
menyandang gelar saja.
5. Periode
Kelima (590 – 656 H/ 1194 – 1258 M), merupakan masa berkuasanya kembali khalifah
‘Abbasiyah, namun wilayah kekuasaannya hanya sekitar ibukota Baghdad saja
(dikutip dalam buku Sejarah Peradaban
Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal 233-234).
D.
Nama-Nama Khalifah Dawlah ‘Abbasiyah Selama pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah
ini, tercatat 37 orang khalifah yang
memimpinnya. Berbeda dari para khalifah Dawlah Bani Umayyah sebelumnya,
para khalifah ‘Abbas ini memakai laqab (gelar tahta), seperti al Saffah adalah
laqab Abu al ‘Abbas, al Manshur adalah gelar tahta Ab Ja’far dan lain-lain.
Laqab atau gelar itu lebih popular dari pada nama mereka yang sebenarnya,
mereka itu adalah:
1.
Abu al ‘Abbas
‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdillah ibn ‘Abbas, yang terkenal dengan
gelar al Saffah (13 Rabi’ al Akhir 132 – wafat pada 13 Dzu al Hijjah 136
H/ 27 November 749 – 9 Juni 754 M).
2.
Abu Ja’far
‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdillah ibn ‘Abbas, yang terkenal
bergelar al Manshur (Dzu al Hijjah 136 – wafat Dzu al Hijjah 158 H/ Juni
754 – 5 Oktober 775 M).
3.
Abu Abdillah
Muahammad ibn al Manshur, bergelar al Mahdiy (Dzu al Hijjah 158 – wafat
pada Muharram 169 H/ Oktober 775 – Juli 785 M).
4.
Abu Muhammad
Musa ibn al Mahdiy, bergelar al Hadiy (Muharram 169 – wafat 15 Rabi’ al
Akhir 170 H/ Juli 785 – 11 Oktober 786 M).
5.
Abu Ja’far Harun
ibn al Mahdiy, bergelar al Rasyid (Rabi’ al Akhir 170 – wafat pada 1
Jumad al Akhir 193 H/ Oktober 786 – 22 Maret 809 M).
6.
Abu ‘Abdillah
Muhammad ibn al Rasyid, bergelar al Amin (Jumad al Akhir 193 – tewas 4
Shafar198 H/ Maret 809 – 8 Oktober 813 M)
7.
Abu Ja’far
Abdullah ibn al rasyid, bergelar al
Ma’mun (Shafar198 – wafat pada Rajab 218 H/ Otober 813 – 6 Agustus 833 M).
8.
Abu Is-haq
Muhammad ibn al Rasyid, bergelar al
Mu’tashim (Rajab 218 – wafat Rabi’ al Awwal 227 H/ Agustus 833 – 4 Januari
842 M).
9. Abu
Ja’far Harun ibn al Mu’tashim, bergelar al Watsiq (Rabi’ al Awwal
227 – wafat pada Dzu al Hijjah 232 H/ Januari 842 – 9 Agustus 847 M).
10. Abu
al Fadhl Ja’far ibn al Mu’tashim, bergelar al Mutawakkil (Dzu al Hijjah
232 – di bunuh 4 Syawwal 247 H/ Agustus 847 – 8 Desember 861 M).
11. Abu
Ja’far Muhammad ibn Ja’far al Mutawakkil, bergelar al Muntashir (4
Syawwal 247 – wafat diracuni 26 Rabi’ al Akhir 248 H/ 8 Desember 861 – 27 Juni
862 M).
12. Abu
al ‘Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn ibn Watsiq, bergelar al Musta’in (Rabi’
al Akhir 248 – mengundurkan diri pada 20 Dzu al Hijjah 251 H/ Juni 862 – 11
Januari 866 M).
13. Abu
‘Abdillah Muhammad ibn al Mutawakkil, bergelar al Mu’taz (Dzu al Hijjah
251 – di paksa mengundurkan diri pada tanggal 27 Rajab 255 H/ Januari 866 – 11
Juli 869 M).
14. Abu
Is-haq Muhammad ibn al Watsiq, bergelar al Muhtady (28 Rajab 255 – tewas
17 Rajab 256 H/ 12 Juli 869 – 21 Juni 870 M).
15. Abu
al ‘Abbas Ahmad ibn al Mutawakkil, berelar al Mu’tamid (Rajab 256 –
wafat 19 Rajab 279 H/ Juli 869 – 16 September 892 M).
16. Abu
al ‘Abbas Ahmad ibn Thalhah ibn al Mutawakkil, bergelar al Mu’tadhid (Rajab
279 – 22 Rabi’ al Awwal 289 H/ September 892 – 6 Meret 902 M)
17. Abu
Muhammad ‘Ali ibn al Mu’tadhid, bergelar al Muktafiy (Rabi’ al Awwal 289
– wafat Dzu al Qa’idah 295 H/ Maret 902 – 12 Agustus 908 M).
18. Abu
al Fadhl Ja’far ibn al Mu’tadhid, bergelar al Muqtadir (Dzu al Qa’idah
295 – dibunuh 26 Syawwal 320 H/ Agustus 908 – 31 Oktober 932 M).
19. Abu
Manshur Muhammad ibn al Mu’tadhid, bergelar al Qahir (Syawwal 320 –
dicopot 1 Jumad al Awwal 322 H/ November 932 – 18 April 934 M).
20. Abu
al ‘Abbas Ahmad ibn al Muqtadir, bergelar al Radhiy (Jumad al Awwal 322
– wafat 16 Rabi’ al Awwal 329 H/ April 934 – 19 Desember 940 M).
21. Abu
Is-haq Ibrahim ibn al Muqtadir, bergelar al Muttaqiy (Rabi’ al Awwal 329
– di copot bulan Shafar 333 H/ Desember 940 – September 944 M).
22. Abu
al Qasim ‘Abdullah ibn al Muktafiy, bergelar al Mustakfiy (20 Shafar 333
– di copot 22 Jumad al Akhir 334 H/ 22 September 944 – 29 Januari 946 M).
23. Abu
al Qasim al Fadhl ibn al Muqtadir, bergelar al Muthi’ (Jumad al Akhir
334 – mengundurkan diri 9 Dzu al Qa’idah 363 H/ Januari 946 – 10 Agustus 974
M).
24. Abu
Bakr ‘Abd al Karim ibn al Muthi’, bergelar al Tha-i’ (Dzu al Qa’idah 363
– mengundurkan diri 19 Sya’ban 381 H/ Agustus 974 – 30 Oktober 991 M).
25. Abu
al ‘Abbas Ahmad ibn Ishak ibn al Muqtadir, bergelar al Qadir (19 Sya’ban
381 – wafat 21 Dzu al Hijjah 422 H/ Oktober 991 – 11 Desember 1031 M).
26. Abu
Ja’far Abdullah ibn al Qadir, bergelar al Qa-im (21 Dzu al Hijjah 422 –
wafat pada 15 Sya’ban 466 H/ Desember 1031 – 16 April 1074 M).
27. Abu
al Qasim ‘Ubaydullah ibn Muhammad ibn al Qa-im, bergelar al Muqtadiy (Sya’ban
466 – 15 Muharram 487 H/ April 1074 – 9 Maret 1094 M).
28. Abu
al ‘Abbas Ahmad ibn Muqtadiy, bergelar al Mustazhhir (Muharram 487 – wafa
16 Rabi’ al Akhir 512 H/ Maret 1094 – 6 Agustus 1118 M).
29. Abu
Manshur al Fadhl ibn al Mustazhhir, bergelar al Mustarsyid (Rabi’ al
Akhir 512 – di bunuh 7 Dzu al Hijjah 529 H/ Agustus 1118 – 18 September 1135
M).
30. Abu
Ja’far al Manshur ibn al Mustarsyid, bergelar al Rasyid (9 Dzu al Hijjah 529 – di copot
in absentia pada tanggal 16 Dzu al Qa’idah 530 H/ 20 September 1135 – 16
Agustus 1136 M).
31. Abu
‘Abdillah Muhammad ibn al Mustazhhir, bergelar al Muqtadhiy (Dzu al
Qa’idah 530 – wafat 2 Rabi’ al Awwal 555 H/ September 1136 – 11 Maret 1160 M).
32. Abu
al Muzhaffar Yusuf ibn al Muqtadhiy, bergelar al Mustanjid (Rabi’ al
Awwal 555 – wafat 8 Rabi’ al Akhir 566 H/ Maret 1160 – 18 Desember 1170 M).
33. Abu
Muhammad al Hasan ibn al Mustanjid, bergelar al Mustadhiy (Rabi’ al
Akhir 566 – wafat 29 Syawwal 575 H/ Desember 1170 – 29 Maret 1180 M).
34. Abu
al ‘Abbas Ahmad ibn al Mustadhiy, bergelar al Nashir (29 Syawwal 575 –
wafat pada hari Minggu 29 Ramadhan 622 H/ 29 Maret 1180 – 4 Oktober 1225 M).
35. Abu
Nashr Muhammad ibn al Nashir, bergelar al Zhahir (29 Ramadhan 622 –
wafat pada 13 Rajab 623 H/ 4 Oktober 1225 – 9 Juli 1226 M).
36. Abu
Ja’far Manshur ibn al Zhahir, bergelar al Mustanshir (Ra jab 623 – wafat
pada 10 Jumad al Akhir 640 H/ 9 Juli 1226 – 4 Desember 1242 M).
37. Abu
Ahmad ‘Abdullah ibn al Mustanshir, bergelar al Musta’shim (10 Jumad al
Akhir 640 – di bantai oleh Houlakho Khan pada hari Rabu 14 Shafar 656 H/ 4
Desember 1242 – 19 Februari 1258 M).[3]
E.
Jasa Khalifah-Khalifah Dawlah ‘Abbasiyah
1. Abu
al ‘Abbas ‘Abdullah ibn Muhammad in ‘Ali ibn ‘Abdillah ibn ‘Abbas
a. Mengadakan
rumah-rumah api untuk panduan musafir (lampu-lampu jalan raya untuk panduan
orang-orang yang berjalan pada malam hari).
b. Memperbaharui
jalan dan meletakkan batu tanda jarak di antara Mekah dangan Kufah mengikut
kiraan Batu Hasyimi.
c. Memperkukuhkan
angkatan tentara untuk mempertahankan ancaman musuh terutama dari Rom.
d. Membuka
Bandar baru di Iraq yang dinamakan Bandar Hasyimiah.
2. Abu
Ja’far ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdillah ibn ‘Abbas
a. Mendirikan
Kota Baghdad di Iraq.
b. Membangun
Istana yang indah.
c. Membuat
sebuah pelabuhan yang besar di Sungai Furat untuk persinggahan kapal-kapal.
d. Memajukan
perkembangan ilmu pengetahuan, mempergiatkan usaha menterjemah buku-buku
pengetahuan ke dalam Bahasa Arab.
e. Mendirikan
sekolah tinggi yaitu "Baitul Hikmah".
3. Abu
Abdillah Muahammad ibn al Manshur
a. Membebaskan
tahanan politik semasa pemerintahan bapaknya (Abu Jaafar al Mansur). Kecuali mereka yang bersalah dalam jenayah.
b. Membangun
dan memperbaiki Istana.
c. Membuat
kolam-kolam air disepanjang jalan untuk kemudahan musafir dan angkatan kafilah.
d. Menempatkan
orang yang berpenyakit kusta di tempat yang khas bagi mengelak dari berjangkit.
e. Memerintah
agar menambah bangunan Masjidil Haram di Mekah.
f. Memberikan
bayaran saguhati kepada penyair-penyair sebagai galakan.
4. Abu
Muhammad Musa ibn al Mahdiy
a. Menjadikan
Baghdad sebagai pusat perdagangan antarabangsa.
b. Mendirikan
pusat-pusat pengajian rendah dan menengah serta memberi pelajaran dengan
percuma.
c. Menjemput
Para Ulama dan Cendekiawan ke Baghdad untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
d. Mengusahakan
pernterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab.
e. Menghapuskan
musuh-musuh negara dari dalam dan luar negeri untuk menstabilkan negara.
f. Menjalinkan
hubungan yang baik dengan negara-negara asing.
g. Mendirikan
Darul Hikmah (Perpustakaan awam).
h. Membina
tempat meneropong bintang untuk ahli ilmu falak
5. Abu
‘Abdillah Muhammad ibn al Rasyid
a. Usaha-usaha
menterjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab.
b. Mendirikan
dua tempat pusat pengkajian angkasa lepas yaitu di Damsyik dan Baghdad.
c. Menjemput
para cerdik pandai ke Baghdad dan mereka diberi berbagai hadiah.
d. Memperbaiki
sistem hospital dan menambah bilangan hospital.
e. Mendirikan
sekolah dan diberi kemudahan kepada pelajar-pelajar.
f. Memperluaskan
dan memajukan Darul Hikmah.[4]
F.
Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara Pada zaman Abbasiyah konsep
kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin
Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal
dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar
pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan
Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya“. Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang
diterapkan berbedabeda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan
budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain
:
1. Para
Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan
para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali .
2. Kota
Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi sosial dan kebudayaan.
3. Ilmu
pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
4. Kebebasan
berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
5. Para
menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam
pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya
periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan,
terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan
kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik
saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah mendirikan
atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah
kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah
.
Pada
masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para
Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan
adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras
terhadap Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.
Dalam
menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh
seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat.
Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
a. Wizaraat Tanfiz (system pemerintahan
presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu
Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
b. Wizaaratut Tafwidl (parlemen
kabimet).
Wazirnya
berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang
saja . Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti
lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180).
Selain
itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah
dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin
oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan
pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri
departemen-departemen). Tata usaha Negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul
idary al-markazy.
Selain
itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul
umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.[5]
G.
Sistem Sosial Masuknya
orang-orang Iran ke dalam elit kekuasaan pada masa Abbasiyah yang dimulai dari
keluarga Al-Barmark pada masa Harun Ar-Rasyid telah memberikan semangat
terpendam yang merupakan cikal bakal kebangkitan Iran Baru yang berjiwa Islam.
Apalagi dengan adanya perkawinan keluarga khalifah seterusnya. Walaupun di
sana-sini timbul pertentangan anara orang-orang yang masih mempertahankan
dominasi dan nasionalisme Arab di kalangan keluarga khalifah dengan pihak yang
telah beradaptasi dengan kebudayaan Iran, hal itu tidak menghalangi proses
lebih lanjut bagi perluasan pengaruh Iran dalam dunia Islam pada waktu itu.
Misalnya, dalam pembangunan kota Baghdad, jelas sekali meniru pola kota di
zaman Iran. Tata kota dibagi-bagi secara serasi. Ada pusat pemerintahan, pusat
ekonomi, dan pusat keagamaan, yang dikelilingi oleh perumahan yang disediakan
untuk rakyat.[6]
H. Membandingkan
dan Menganalisis Model Pemerintahan
Dawlah ‘Abbasiyah dengan Pemerintahan Dawlah Bani Umayyah.
1. Model Pemerintahan
Bani Umayyah Dinasti
Umayyah membangun peradaban di luar jazirah Arab yang dimulai dari adanya upaya
3 pembunuhan yaitu di Kufa oleh Abd Rahman bin Muljan untuk membunuh Ali,
yerussalem Ibn Abdillah untuk Muawiyah dan Fustat oleh Barak bin Abdillah
al-Tamimi untuk membunuh Amr bin Ash. Penguasa Umayyah yang
berjumlah 14 orang melaksanakan sistem pemerintahan Persia dan Roma, Byzantium.
Dimasa Umayyah, suasana kesukuan pra Islam muncul kembali. Hal ini terlihat
jelas di awal pemerintahan dinasti Umayyah dimana kekhalifahan Mu’awiyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi
dan tipu daya, tidak dengan pemilihan suara terbanyak. Menjalankan politik
Arabiasi yaitu mengutamakan unsur Arab dalam pembinaan kebudayaan. Kecenderunagan untuk melanjutkan dan
mempertahankan tradisi kerajaan Pra Islam oleh Dinasti Umayyah bisa jadi
dipengaruhi oleh pemilihan ibu kota pemerintahan Bani Umayyah-Damaskus
Syria-yang merupakan wilayah yang
berabad-abad lamanya dikuasai oleh kebudayaan Grik yang kemudian
dilanjutkan oleh Imperium Romawi.
Dikatakan bahwa tata hidup waktu itu sarat dengan kemewahan alah sdan
kemegahan, yang mau tak mau memberikan pengaruh terhadap penguasan Islam yang
dipegang oleh Muawiyah pada waktu itu. Bukti
adanya pengaruh tersebut adalah sebagai berikut :
a. Muawiyah
merupakan khalifah pertama yang meniru
sikap hidup asing penuh dengan kemewahan dan keagungan , mengenakan
baju-baju sutra dan linen. Peralatan yang mewah mengagumkan.
b. Adanya
pasukan pegawai pada gerbang istana kediaman.
c. Adanya
pasukan pegawai kemanapun sang khalifah pergi.
d. Adanya
kebiasaan memakan hidangan yang lezat
dan mewah.
Tata hidup di atas perlahan namun pasti
membawa dampak negatif bagi umat Islam secara kekseluruhan, di antaranya adalah
:
a.
Terputusnya ikatan batin seorang khalifah
dengan rakyat. Dikarenakan birokrasi
yang sedemikian rumit, seperti adanya pengawalan ketat terhadap para khalifah.
b. Menjamurnya
kehidupan glamour pada khalifah. Dan ini merupakan salah satu penyebab
runtuhnya Dinasti Umayyah. [7] Secara garis
besarnya model pemerintahan Dinasti Umayyah dapat diamati berikut ini :
Roda Pemerintahan
|
Dampak / Bentuk
|
1.
|
Model
pemerintahan
|
Otoriter
|
2.
|
Cara hidup
khalifah
|
Cara hidup
kisra atau kaisar, terdapat jarak antara penguasa dan rakyat.
|
3.
|
Kondisi
Baitul Mal
|
Menjadi
milik penguasa dan keluarganya.
|
4.
|
Kebebasan
mengeluarkan pendapat
|
Diibaratkan
menutup hati nurani rakyat, mengikat
lidah mereka kecuali untuk mengucapkan pujian bagi penguasa.
|
5.
|
Peradilan
|
Dibawah
kendali penguasa
|
6.
|
Budaya
kesukuan / ashabiyah qaumiyah
|
Mulai muncul
ashabiyah qaumiyah
|
7.
|
Hukum
|
Mulai agak
melonggarkan apa yang telah diatur syariat.
|
2.
Model
Pemerintahan Dawlah Abbasiyah.
Model
pemerintahan yang diterapkan oleh
Abbasiyah bisa dikatakan asimilasi dari berbagai unsur. Ini terlihat
jelas dari adanya periodesasi atau
tahapan pemerintahan Abbasiyah.
Namun demikian,
kiranya perlu juga diketahui perbedaan ataupun persamaan dengan dinasti
sebelumnya .
ABBASIYAH
|
UMAYYAH
|
Persamaan
|
Menerapkan
sistem warisan pada proses pemilihan khalifah
|
Perbedaan
|
1.
Adanya unsur non
arab dalam sistem pemerintahannya adanya pengaruh persia dan turki
2.
Makin komplitnya struktur pemerintahan
3.
Profesionalisme tentara mulai tertata
|
1.
Adanya dominasi unsur arab
2.
Sangat terbatas karena lebih fokus pada upaya ekspansi
3.
Belum tertata secara profesional dalam bidang
ketentaraan ini.
|
Pada pembahasan di atas dikatakan bahwa
Abbasiyah mengalami beberapa periode yang masing-masing mempunyai karakteristi sendiri.
a. Periode
awal atau periode Pengaruh Persia Pertama (750-847).
Telah
dikatakan pada awal pembahasan bahwa salah ciri pemerintahan Abbasiyah adalah
adanya unsur non Arab yang mempengaruhi pemerintahannya seperti Persia dan
Turki. Pada awal pemerintahannya Abbasiyah lebih cenderung seperti pemerintahan
persia dimana raja mempunyai kekuasaan absolut yang mendapat mandat dari Tuhan.
Masa inilah yang mengantarkan Abbasiyah pada puncak kejayaannya.
b. Periode
lanjutan atau Turki Pertama ( 847-945).
Masa
ini ditandai dengan kebangkitan orang Turki salah satu cirinya adalah orang
Turki memegang jabatan penting dalam pemerintahan terbukti dengan dibangunnya
kota Samarra oleh al-Mu’tasim. Sepeninggal al-Mutawakkal, para Jenderal Turki
berhasil mengontrol pemerintahan,
sehingga khalifah hanay dijadikan sebagai “boneka” atau simbol seperti khalifah
al-Muntashir, al-Mustain, al-Mu’tazz, al-Muuhtadi.
c. Periode
Buwaihiyah atau Pengaruh Persia Kedua ( 945-1055).
Masa
ini berjalan lebih dari 150 tahun, namun secara de facto kekuasaan khalifah
dilucuti dan bermunculan dinasti-dinasti baru. Kemunculan dinasti Buwaihiyah
ini, pada awalnya untuk, menyelamatkan keselamatan khalifah yang telah jatuh
sepenuhnya di bawah kekuasaan para pengawal yang berasal dari Turki.
d. Periode
Dinasti Saljukiyah atau Pengaruh Turki Kedua ( 1055-1157 ).
Masa
ini berawal ketika Seljuk mengontrol kekuasaan Abbasiyah dengan mengalahkan
Bani Buwaihiyah dan berakhir dengan adanya serbuan Mongol. Kekuasaan Seljuk
berawal ketika penduduk Baghda marah atas tindakan Jenderal Arselan Basasieri
yang memaksa rakyat Baghdad untuk
menganut Syiah dengan cara menahan khlaifah al-Qaim dan menghapuskan nama-nama
khalifah Abbasiyah diganti dengan namakhalifah Fatimiah.
e. Bebas
dari Pengaruh Lain ( 1157-1258 ).
Setelah
berakhirnya Masud bin Muhammad yang menghabisi kekuasaan Seljuk maka
kekhalifahan Abbasiyah dikacau lagi dengan adanya kaum Khuarzamsyah dsari Turki
yang dulunya menjadi pembantu Seljuk
yang kemudian menamakan diri dengan Atabeg ( Bapak Raja/Amir ).[8]
BAB
III
PENUTUP
B. Kesimpulan Pendiri kerajaan Dawlah ‘Abbasiyah ini ialah Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn
Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn al ‘Abbas, yang lebih dikenal dengan al Shaffah. Latar
belakang berdirinya pemerintahan ‘Abbasiyah sangat erat kaitannya dengan
gerakan oposisi yang dilancarkan oleh golongan Syi’ah terhadap pemerintahan
Bani Umayyah. Gerakan mereka ini dilaksanakan melalui dua tahap, yakni:
1.
Gerakan secara rahasia dan diam-diam
2.
Secara terang-terangan dan terbuka
C. Saran Penulis berharap makalah ini dapat
berguna untuk pemakalah sendiri maupun bagi pembaca. Penulis menyadari makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun
untuk kemajuan dimasa yang akan datang.
DAFAR
KEPUSTAKAAN
1. Dra.
Fatmawati, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Batusangkar, STAIN Batusangkar Press
2010).
5. Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung; Pustaka Setia, 2008).
6. Istianah Abu Bakar,
M.Ag, Sejarah Peradaban Islam ( Malang, UIN Malang Press2008).
[1] Dra.
Fatmawati, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Batusangkar, STAIN Batusangkar Press
2010) hal 226-231
[2]
http://berkahujan.blogspot.com/2012/12/daulah-bani-abbasiyah.html
[3] Dra.
Fatmawati, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Batusangkar, STAIN Batusangkar Press
2010) hal 231-237
[7]Istianah Abubakar, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam(Malang, UIN Malang Press
2008) hal 49-51

No comments:
Post a Comment