Thursday, April 7, 2016

Dawlah ‘Abbasiyah







Tugas Makalah

Sejarah Peradaban Islam

Tentang:

Dawlah ‘Abbasiyah



Oleh Kelompok 8:

Rhoni                  : 14 131 046

Zelly Susanti      : 14 131 062



Dosen Pembimbing:

Arki Auliahadi, S.Hum., M.A.





Prodi Manajemen Pendidikan Islam Jurusan Tarbiyah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Batusangkar

2015


BAB II

PEMBAHASAN

A.              Latar Belakang Berdirinya Dawalh ‘Abbasiyah                                                                     Pendiri kerajaan Dawlah ‘Abbasiyah ini ialah Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn al ‘Abbas, yang  lebih dikenal dengan al Shaffah. Latar belakang berdirinya pemerintahan ‘Abbasiyah sangat erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang dilancarkan oleh golongan Syi’ah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Golongan Syi’ah merasa tidak senang atas kebijaksanaan pemerintahan Bani Umayyah, karena telah mendiskreditkan mereka dari masyarakat umum. Namun kaum syi’ah sendiri pencah menjadi beberapa kelompok.                                                                    Pada mulanya gerakan oposisi ini memakai nama Bani Hasyim, belum menunjukan nama Syi’ah ataupun Bani ‘Abbas, agar lebih banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Gerakan mereka ini dilaksanakan melalui dua tahap, yakni:

1.      Gerakan Secara Rahasia dan Diam-Diam

Gerakan ini dimulai oleh seorang putra ‘Ali sendiri, Abu al Qasim Muhammad ibn ‘Ali ibn Abi Thalib al Hasyimiy, yang lebih dikenal dengan sebutan ibn al Hanafiyah. Sebelum berdirinya Dawlah ‘Abbasiyah, terdapat tiga tempat yang merupakan pusat kegiatan operasi. Ketiga tempat itu adalah Humaymah, Kufah, dan Khurasan. Humaymah adalah tempat yang tentram, dan yang bermukim disana adalah keluarga Bani Hasyim. Kufah adalah wilayah yang pendukungnya  menganut aliran Syi’ah pendukung ‘Ali ibn Abi Thalib. Khurasan mempunyai warga yang pemberani, kuat fisiknya, teguh pendiriannya tidak mudah dipengaruhi oleh pemikiran yang berbeda dari pemikiran mereka, dan gerakan penentang Bani Umayyah mendapat dukungan di sini. Khurasan ini dipimpin oleh seorang tokoh yang terkenal, Abu Muslim ‘Abd al Rahman ibn Muslim al Khurasaniy.

Kegiatan oposisi ini makin meningkat pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al ‘Azis (99 – 101 H). Sebab khalifah ini terkenal dengan sifat dan sikap lemah lembutnya dan tidak bertindak keras terhadap kaum oposisi. Pada tahun 129 H (146 M), di masa pemerimtahan Khalifah Marwan ibn Muhammad al Amawiy, pernah tertangkap sebuah surat rahasia dari Ibrahim ibn Muhammad ibn ‘Ali yang ditujukan kepada Abu Muslim al Kurasaniy di Khurasan. Isinya antara lain menyebutkan perintah Ibrahim bin Muhammad kepada Abu Muslim agar membunuh setiap orang berbahasa Arab di Khurasan.

Setelah mengetahui isi surat rahasia itu, maka Khalifah Marwan ibn Muhammad menangkap Ibrahim ibn Muhammad dan memenjarakannya, sampai akhirnya dia wafat pada bulan Shafar tahun 132 H ( September 749 M)

2.      Secara Terang-Terangan dan Terbuka                                                                       Sejak tertangkapnya surat Ibrahim ibn Muhammad kepada Abu Muslim al Khurasaniy, gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan makin bertambah luas pengaruhnya. Bahkan pada malam Jum’at 13 Rabi’ al Akhir 132 H (26 November 749 M), takoh-tokoh oposisi ini telah membai’at Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn Muhammad, yang ketika itu berusia sekitar 28 tahun sebagai khalifah di Kufah. Dalam pidato pembai’atannya itu, Abu al ‘Abbas antara lain mengatakan:

Saya berharap semoga pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah ini akan mendatangkan kebaikan dan kedamaian kepada kalian wahai penduduk Kufah, bukannya intimidasi, kekerasan dan kezaliman. Wahai penduduk kufah, kalian adalah tumpuan kasih saying kami. Kalian tidak pernah berubah pandangan, walaupun penguasa yang zhalim (Bani Umayyah) telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian semua telah dipertemukan Allah dengan Dawlah ‘Abbasiyah, maka oleh sebab itu jadilah kalian orang-orang yang paling berbahagia dan yang paling kami muliakan. Ketahuilah wahai penduduk kufah saya adalah Saffah”.                                           Saat itu populerlah gelar Abu al ‘Abbas dengan al Saffah artinya seorang penumpas. Keberhasilan kaum oposisi dalam meruntuhkan pemerintahan Dawlah Bani Umayyah ini adalah karena dukungan karena didukung oleh foktor geografis, faktor etnis, dan faktor politis. Dari segi geografis, daerah yang menjadi kegiatan oposisi terhadap Bani Umayyah adalah daerah Khurasan.                                                                                           Dari segi etnis, sikap pemerintahan Dawlah Bani Umayyah yang terlalu memberi fasilitas dan meninggikan penduduk yang berasal dari keturunan  Arab, telah menimbulkan kecemburuan sosial dikalangan penduduk yang bukan bangsa Arab yang disebut dengan al Mawali. Dari segi politik pemerintahan Bani Umayyah yang bercorak diskriminatif tersebut telah menimbulkan kerawanan sosial, terutama antara golongan Arab dengan nan Arab. Oleh karena itu, tepat sekali W. Montogomery Watt mengatakan bahwa kejatuhan Dawlah Bani Umayyah adalah akibat keresahan dan ketidak puasan golongan non Arab, adanya kebencian sebagian ulama dan meluasnya keinginan para juru selamat politik Islam yaitu seorang politikus yang Kharismatik. Setelah resmi menjadi khlifah, Abu al ‘Abbas tidak mengambil kota Damsakus sebagai pusat pemerintahannya, karena para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus, dan lagi pula, kota itu terlalu dekat dengan kerajaan Byzantium yang merupakan ancaman bagi pemerintahannya. Dia lebih suka memilih kota Hasyimiyah dekat dengan Kufah yang jauh dari Persia sebagai pusat pemerintahannya. Kemudian khalifah yang kedua Abu Ja’far al Manshur membangun kota Baghdad di dekat Ctesiphon, bekas ibukota kerajaan Persia, dan pada tahun 144 H/ 762 M, Khalifah al Manshur menjadikan Baghdad sebagai ibukota Dawlah ‘Abbasiyah yang baru.[1]

B.     Kedudukan Khalifah                                                                                                        Sepanjang sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah, para khalifah adalah manusia biasa yang mempunyai titik kelemahan dan titik kekuatan dalam sejarah hidupnya. Titik kekuatan dalam sejarah pemerintahan Khalifah Abul Abbas adalah kemampuannya memadamkan perusuhan dan pemberontakan yang meluas sejak penghujung masa kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M) dan masa-masa permulaan kekuasaan Daulah Abbasiyah (750-1256 M) hingga keamanan berangsur pulih kembali dalam wilayah Islam yang demikian luasnya, dari perbatasan Thian Shan di sebelah Timur dan pegunungan Pyrenees di sebelah Barat.                                                                               Titik kelemahan Khalifah Abul Abbas terletak pada kebijaksanaan pemerintahannya berdasarkan kekerasan, hingga digelari dengan sebutan “penumpah darah” (al Saffah), sekalipun dalam banyak hal ia memperlihatkan kebudimanan dan kedermawanan.                                                                                       Pada masa al Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata: “Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al Khulafa al Rasyidun. Disamping itu, berbeda dari daulah Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini lebih populer dari pada nama yang sebenarnya.[2]

C.     Periodesasi Pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah                                                                  Dalam perkembangannya, pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah ini dibedakan oleh beberapa ahli sejarah dalam beberapa periode, para tokoh tersebut diantaranya:

1.      Ali Mufradi (dikutip dalam buku Sejarah Peradaban Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal 231-232), membaginya menjadi tiga periode yakni:

a.       Periode pertama tahun 132 – 232 M. Dalam periode ini kedudukan para khalifah ‘Abbasiyah sangat kuat, ditopang olelh ulama besar yang saling bersilaturahmi dan mengeluarkan fatwa serta banyak beritjtihad dan semua wilayah kekuasaan Islam berada d tangan Dawlah ‘Abbasiayah, kecuali Andalusia berada di bawaah Dawlah Umayyah.

b.      Periode kedua tahun 233 – 590 H. Dalam periode ini, kekuasaan berada di tangan orang-orang Persia dan Turki, yakni Bani Buwaih dan Bani Saljuk, sedangkan para khalifah hanya menyendang gelar saja.

c.       Periode ketiga 590 – 656 H.  Dalam periode ini kekuasaan kembali berada di tangan para khalifah ‘Abbasiyah lagi, namun wilayahnya telah menyempit, hanya disekitar kota Baghdad saja.

2.      Syalabi (dikutip dalam buku Sejarah Peradaban Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal 232), juga membagi pemerintahan ‘Abbasiyah itu kepada tiga periode yakni:

a.       Periode pertama (132 – 232 H). Pada periode ini kekuasaan berada di tangan para khalifah dan seluruh wilayah Islam tunduk kepada khalifah ‘Abbasiyah kecuali Andalusia yang dikuasai oleh Bani Umayyah.

b.      Periode kedua (232 – 590 H). Pada periode ini kekuasaan berpindah dari tangan para khalifah kepada Kaum Turki.

c.       Periode ketiga (590 – 656 H). Pada periode ini kekuasaan telah kembali kepada khalifah ‘Abbasiyah, namun kedaulatannya hanya di Baghdad dan kawasan sekitarnya saja.

3.      Badri Yatim (dikutip dalam buku Sejarah Peradaban Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal. 232-233), selama Dawlah ‘Abbasiyah ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan ‘Abbasiyah menjadi lima periode, yakni,

a.       Periode Pertama (132 – 232 H/ 750 – 847 M), disebut dengan periode pengaruh Persia yang pertama.

b.      Periode Kedua (232 – 334 H/ 847 – 946 M), disebut dengan masa pengaruh Turki yang pertama.

c.       Periode Ketiga (344 – 447 H/ 946 – 1055 M), periode ini disebut juga dengan pengaruh Persia yang kedua.

d.      Periode Keempat (447 – 590 H/ 1055 – 1194 M), periode ini disebut juga pengaruh Turki yang kedua.

e.       Periode Kelima (590 – 656 H/ 1194 – 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya di sekitar kota Baghdad saja.

4.      Syeikh Muhammad al Khudhiry, Guru Besar Ilmu Sejarah Islam dari Universitas Mesir (dikutip dalam buku Sejarah Peradaban Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal 233), membagi masa pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah ini kepada lima masa atau periode, yakni:

a.       Periode Pertama (132 – 232 H), masa kuat-kuasa dan bekerja membangun.

b.      Periode Kedua (232 – 334 H), masa berkuasanya panglima-panglima Turki.

c.       Periode Ketiga (344 – 447 H), masa berkuasanya Bani Buwayhi.

d.      Periode Keempat (447 – 590 H), masa bekuasanya Bani Saljuk.

e.       Periode Kelima (590 – 656 H), masa gerak balik kekuasaan politik.

Bila diperhatikan secara seksama, memang lebih tepat membagi masa pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah ini dalam lima periode, yakni:

1.      Periode Pertama (132 – 232 H/ 750 – 847 M), merupakan kejayaan Dawlah ‘Abbasiyah.

2.      Periode Kedua (232 – 334 H/ 847 – 946 M), merupakan masa ksekuasaan wazir-wazir Turki, sedangkan para khalifah ‘Abbasiyah hanya jadi boneka dan sekedar menyandang gelar saja.

3.      Periode Ketiga (344 – 447 H/ 946 – 1055 M), merupakan masa kekuasaan Bani Buwayhi dari Persia, sedangkan para khalifah ‘Abbasiyah tetap jadi boneka dan sekedar menyandang gelar saja.

4.      Periode Keempat (447 – 590 H/ 1055 – 1194 M), merupakan masa kekuasaan Bani Saljuk dari Turki, sedangkan para khalifah ‘Abbasiyah masih jadi boneka dan sekedar menyandang gelar saja.

5.      Periode Kelima (590 – 656 H/ 1194 – 1258 M), merupakan masa berkuasanya kembali khalifah ‘Abbasiyah, namun wilayah kekuasaannya hanya sekitar ibukota Baghdad saja (dikutip dalam buku Sejarah Peradaban Islam karangan Dra. Fatmawati, M.Ag, hal 233-234).

D.           Nama-Nama Khalifah Dawlah ‘Abbasiyah                                                  Selama pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah ini, tercatat 37 orang khalifah yang  memimpinnya. Berbeda dari para khalifah Dawlah Bani Umayyah sebelumnya, para khalifah ‘Abbas ini memakai laqab (gelar tahta), seperti al Saffah adalah laqab Abu al ‘Abbas, al Manshur adalah gelar tahta Ab Ja’far dan lain-lain. Laqab atau gelar itu lebih popular dari pada nama mereka yang sebenarnya, mereka itu adalah:

1.        Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdillah ibn ‘Abbas, yang terkenal dengan gelar al Saffah (13 Rabi’ al Akhir 132 – wafat pada 13 Dzu al Hijjah 136 H/ 27 November 749 – 9 Juni 754 M).

2.        Abu Ja’far ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdillah ibn ‘Abbas, yang terkenal bergelar al Manshur (Dzu al Hijjah 136 – wafat Dzu al Hijjah 158 H/ Juni 754 – 5 Oktober 775 M).

3.        Abu Abdillah Muahammad ibn al Manshur, bergelar al Mahdiy (Dzu al Hijjah 158 – wafat pada Muharram 169 H/ Oktober 775 – Juli 785 M).

4.        Abu Muhammad Musa ibn al Mahdiy, bergelar al Hadiy (Muharram 169 – wafat 15 Rabi’ al Akhir 170 H/ Juli 785 – 11 Oktober 786 M).

5.        Abu Ja’far Harun ibn al Mahdiy, bergelar al Rasyid (Rabi’ al Akhir 170 – wafat pada 1 Jumad al Akhir 193 H/ Oktober 786 – 22 Maret 809 M).

6.        Abu ‘Abdillah Muhammad ibn al Rasyid, bergelar al Amin (Jumad al Akhir 193 – tewas 4 Shafar198 H/ Maret 809 – 8 Oktober 813 M)

7.        Abu Ja’far Abdullah ibn al rasyid, bergelar  al Ma’mun (Shafar198 – wafat pada Rajab 218 H/ Otober 813 – 6 Agustus 833 M).

8.        Abu Is-haq Muhammad ibn al Rasyid, bergelar  al Mu’tashim (Rajab 218 – wafat Rabi’ al Awwal 227 H/ Agustus 833 – 4 Januari 842 M).

9.      Abu Ja’far Harun ibn al Mu’tashim, bergelar al Watsiq (Rabi’ al Awwal 227 – wafat pada Dzu al Hijjah 232 H/ Januari 842 – 9 Agustus 847 M).

10.  Abu al Fadhl Ja’far ibn al Mu’tashim, bergelar al Mutawakkil (Dzu al Hijjah 232 – di bunuh 4 Syawwal 247 H/ Agustus 847 – 8 Desember 861 M).

11.  Abu Ja’far Muhammad ibn Ja’far al Mutawakkil, bergelar al Muntashir (4 Syawwal 247 – wafat diracuni 26 Rabi’ al Akhir 248 H/ 8 Desember 861 – 27 Juni 862 M).

12.  Abu al ‘Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn ibn Watsiq, bergelar al Musta’in (Rabi’ al Akhir 248 – mengundurkan diri pada 20 Dzu al Hijjah 251 H/ Juni 862 – 11 Januari 866 M).

13.  Abu ‘Abdillah Muhammad ibn al Mutawakkil, bergelar al Mu’taz (Dzu al Hijjah 251 – di paksa mengundurkan diri pada tanggal 27 Rajab 255 H/ Januari 866 – 11 Juli 869 M).

14.  Abu Is-haq Muhammad ibn al Watsiq, bergelar al Muhtady (28 Rajab 255 – tewas 17 Rajab 256 H/ 12 Juli 869 – 21 Juni 870 M).

15.  Abu al ‘Abbas Ahmad ibn al Mutawakkil, berelar al Mu’tamid (Rajab 256 – wafat 19 Rajab 279 H/ Juli 869 – 16 September 892 M).

16.  Abu al ‘Abbas Ahmad ibn Thalhah ibn al Mutawakkil, bergelar al Mu’tadhid (Rajab 279 – 22 Rabi’ al Awwal 289 H/ September 892 – 6 Meret 902 M)

17.  Abu Muhammad ‘Ali ibn al Mu’tadhid, bergelar al Muktafiy (Rabi’ al Awwal 289 – wafat Dzu al Qa’idah 295 H/ Maret 902 – 12 Agustus 908 M).

18.  Abu al Fadhl Ja’far ibn al Mu’tadhid, bergelar al Muqtadir (Dzu al Qa’idah 295 – dibunuh 26 Syawwal 320 H/ Agustus 908 – 31 Oktober 932 M).

19.  Abu Manshur Muhammad ibn al Mu’tadhid, bergelar al Qahir (Syawwal 320 – dicopot 1 Jumad al Awwal 322 H/ November 932 – 18 April 934 M).

20.  Abu al ‘Abbas Ahmad ibn al Muqtadir, bergelar al Radhiy (Jumad al Awwal 322 – wafat 16 Rabi’ al Awwal 329 H/ April 934 – 19 Desember 940 M).

21.  Abu Is-haq Ibrahim ibn al Muqtadir, bergelar al Muttaqiy (Rabi’ al Awwal 329 – di copot bulan Shafar 333 H/ Desember 940 – September 944 M).

22.  Abu al Qasim ‘Abdullah ibn al Muktafiy, bergelar al Mustakfiy (20 Shafar 333 – di copot 22 Jumad al Akhir 334 H/ 22 September 944 – 29 Januari 946 M).

23.  Abu al Qasim al Fadhl ibn al Muqtadir, bergelar al Muthi’ (Jumad al Akhir 334 – mengundurkan diri 9 Dzu al Qa’idah 363 H/ Januari 946 – 10 Agustus 974 M).

24.  Abu Bakr ‘Abd al Karim ibn al Muthi’, bergelar al Tha-i’ (Dzu al Qa’idah 363 – mengundurkan diri 19 Sya’ban 381 H/ Agustus 974 – 30 Oktober 991 M).

25.  Abu al ‘Abbas Ahmad ibn Ishak ibn al Muqtadir, bergelar al Qadir (19 Sya’ban 381 – wafat 21 Dzu al Hijjah 422 H/ Oktober 991 – 11 Desember 1031 M).

26.  Abu Ja’far Abdullah ibn al Qadir, bergelar al Qa-im (21 Dzu al Hijjah 422 – wafat pada 15 Sya’ban 466 H/ Desember 1031 – 16 April 1074 M).

27.  Abu al Qasim ‘Ubaydullah ibn Muhammad ibn al Qa-im, bergelar al Muqtadiy (Sya’ban 466 – 15 Muharram 487 H/ April 1074 – 9 Maret 1094 M).

28.  Abu al ‘Abbas Ahmad ibn Muqtadiy, bergelar al Mustazhhir (Muharram 487 – wafa 16 Rabi’ al Akhir 512 H/ Maret 1094 – 6 Agustus 1118 M).

29.  Abu Manshur al Fadhl ibn al Mustazhhir, bergelar al Mustarsyid (Rabi’ al Akhir 512 – di bunuh 7 Dzu al Hijjah 529 H/ Agustus 1118 – 18 September 1135 M).

30.  Abu Ja’far al Manshur ibn al Mustarsyid, bergelar  al Rasyid (9 Dzu al Hijjah 529 – di copot in absentia pada tanggal 16 Dzu al Qa’idah 530 H/ 20 September 1135 – 16 Agustus 1136 M).

31.  Abu ‘Abdillah Muhammad ibn al Mustazhhir, bergelar al Muqtadhiy (Dzu al Qa’idah 530 – wafat 2 Rabi’ al Awwal 555 H/ September 1136 – 11 Maret 1160 M).

32.  Abu al Muzhaffar Yusuf ibn al Muqtadhiy, bergelar al Mustanjid (Rabi’ al Awwal 555 – wafat 8 Rabi’ al Akhir 566 H/ Maret 1160 – 18 Desember 1170 M).

33.  Abu Muhammad al Hasan ibn al Mustanjid, bergelar al Mustadhiy (Rabi’ al Akhir 566 – wafat 29 Syawwal 575 H/ Desember 1170 – 29 Maret 1180 M).

34.  Abu al ‘Abbas Ahmad ibn al Mustadhiy, bergelar al Nashir (29 Syawwal 575 – wafat pada hari Minggu 29 Ramadhan 622 H/ 29 Maret 1180 – 4 Oktober 1225 M).

35.  Abu Nashr Muhammad ibn al Nashir, bergelar al Zhahir (29 Ramadhan 622 – wafat pada 13 Rajab 623 H/ 4 Oktober 1225 – 9 Juli 1226 M).

36.  Abu Ja’far Manshur ibn al Zhahir, bergelar al Mustanshir (Ra jab 623 – wafat pada 10 Jumad al Akhir 640 H/ 9 Juli 1226 – 4 Desember 1242 M).

37.  Abu Ahmad ‘Abdullah ibn al Mustanshir, bergelar al Musta’shim (10 Jumad al Akhir 640 – di bantai oleh Houlakho Khan pada hari Rabu 14 Shafar 656 H/ 4 Desember 1242 – 19 Februari 1258 M).[3]

E.            Jasa Khalifah-Khalifah Dawlah ‘Abbasiyah

1.      Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn Muhammad in ‘Ali ibn ‘Abdillah ibn ‘Abbas

a.       Mengadakan rumah-rumah api untuk panduan musafir (lampu-lampu jalan raya untuk panduan orang-orang yang berjalan pada malam hari).

b.      Memperbaharui jalan dan meletakkan batu tanda jarak di antara Mekah dangan Kufah mengikut kiraan Batu Hasyimi.

c.       Memperkukuhkan angkatan tentara untuk mempertahankan ancaman musuh terutama dari Rom.

d.      Membuka Bandar baru di Iraq yang dinamakan Bandar Hasyimiah.

2.      Abu Ja’far ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdillah ibn ‘Abbas

a.       Mendirikan Kota Baghdad di Iraq.

b.      Membangun Istana yang indah.

c.       Membuat sebuah pelabuhan yang besar di Sungai Furat untuk persinggahan kapal-kapal.

d.      Memajukan perkembangan ilmu pengetahuan, mempergiatkan usaha menterjemah buku-buku pengetahuan ke dalam Bahasa Arab.

e.       Mendirikan sekolah tinggi yaitu "Baitul Hikmah".

3.      Abu Abdillah Muahammad ibn al Manshur

a.       Membebaskan tahanan politik semasa pemerintahan bapaknya (Abu Jaafar al Mansur).  Kecuali mereka yang bersalah dalam jenayah.

b.      Membangun dan memperbaiki Istana.

c.       Membuat kolam-kolam air disepanjang jalan untuk kemudahan musafir dan angkatan kafilah.

d.      Menempatkan orang yang berpenyakit kusta di tempat yang khas bagi mengelak dari berjangkit.

e.       Memerintah agar menambah bangunan Masjidil Haram di Mekah.

f.       Memberikan bayaran saguhati kepada penyair-penyair sebagai galakan.

4.      Abu Muhammad Musa ibn al Mahdiy

a.       Menjadikan Baghdad sebagai pusat perdagangan antarabangsa.

b.      Mendirikan pusat-pusat pengajian rendah dan menengah serta memberi pelajaran dengan percuma.

c.       Menjemput Para Ulama dan Cendekiawan ke Baghdad untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

d.      Mengusahakan pernterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab.

e.       Menghapuskan musuh-musuh negara dari dalam dan luar negeri untuk menstabilkan negara.

f.       Menjalinkan hubungan yang baik dengan negara-negara asing.

g.      Mendirikan Darul Hikmah (Perpustakaan awam).

h.      Membina tempat meneropong bintang untuk ahli ilmu falak

5.      Abu ‘Abdillah Muhammad ibn al Rasyid

a.       Usaha-usaha menterjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab.

b.      Mendirikan dua tempat pusat pengkajian angkasa lepas yaitu di Damsyik dan Baghdad.

c.       Menjemput para cerdik pandai ke Baghdad dan mereka diberi berbagai hadiah.

d.      Memperbaiki sistem hospital dan menambah bilangan hospital.

e.       Mendirikan sekolah dan diberi kemudahan kepada pelajar-pelajar.

f.       Memperluaskan dan memajukan Darul Hikmah.[4]

F.             Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara                                                    Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya“.                               Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbedabeda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :

1.      Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali .

2.      Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.

3.      Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.

4.      Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .

5.      Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).

Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah .

Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.

Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:

a.    Wizaraat Tanfiz (system pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.

b.   Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet).

Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja . Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180).

Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha Negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.

Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.[5]



G.      Sistem Sosial                                                                                                                           Masuknya orang-orang Iran ke dalam elit kekuasaan pada masa Abbasiyah yang dimulai dari keluarga Al-Barmark pada masa Harun Ar-Rasyid telah memberikan semangat terpendam yang merupakan cikal bakal kebangkitan Iran Baru yang berjiwa Islam. Apalagi dengan adanya perkawinan keluarga khalifah seterusnya. Walaupun di sana-sini timbul pertentangan anara orang-orang yang masih mempertahankan dominasi dan nasionalisme Arab di kalangan keluarga khalifah dengan pihak yang telah beradaptasi dengan kebudayaan Iran, hal itu tidak menghalangi proses lebih lanjut bagi perluasan pengaruh Iran dalam dunia Islam pada waktu itu. Misalnya, dalam pembangunan kota Baghdad, jelas sekali meniru pola kota di zaman Iran. Tata kota dibagi-bagi secara serasi. Ada pusat pemerintahan, pusat ekonomi, dan pusat keagamaan, yang dikelilingi oleh perumahan yang disediakan untuk rakyat.[6]

H.    Membandingkan dan Menganalisis Model Pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah dengan Pemerintahan Dawlah Bani Umayyah.

1.   Model Pemerintahan Bani Umayyah                                                              Dinasti Umayyah membangun peradaban di luar jazirah Arab yang dimulai dari adanya upaya 3 pembunuhan yaitu di Kufa oleh Abd Rahman bin Muljan untuk membunuh Ali, yerussalem Ibn Abdillah untuk Muawiyah dan Fustat oleh Barak bin Abdillah al-Tamimi untuk membunuh Amr bin Ash. Penguasa Umayyah yang berjumlah 14 orang melaksanakan sistem pemerintahan Persia dan Roma, Byzantium. Dimasa Umayyah, suasana kesukuan pra Islam muncul kembali. Hal ini terlihat jelas di awal pemerintahan dinasti Umayyah dimana kekhalifahan Mu’awiyah diperoleh melalui  kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan suara terbanyak. Menjalankan politik Arabiasi yaitu mengutamakan unsur Arab dalam pembinaan kebudayaan.                                                                          Kecenderunagan untuk melanjutkan dan mempertahankan tradisi kerajaan Pra Islam oleh Dinasti Umayyah bisa jadi dipengaruhi oleh pemilihan ibu kota pemerintahan Bani Umayyah-Damaskus Syria-yang merupakan wilayah yang  berabad-abad lamanya dikuasai oleh kebudayaan Grik yang kemudian dilanjutkan  oleh Imperium Romawi. Dikatakan bahwa tata hidup waktu itu sarat dengan kemewahan alah sdan kemegahan, yang mau tak mau memberikan pengaruh terhadap penguasan Islam yang dipegang oleh Muawiyah pada waktu  itu. Bukti adanya pengaruh tersebut adalah sebagai berikut :

a.    Muawiyah merupakan khalifah pertama yang meniru  sikap hidup asing penuh dengan kemewahan dan keagungan , mengenakan baju-baju sutra dan linen. Peralatan yang mewah mengagumkan.

b.      Adanya pasukan pegawai pada gerbang istana kediaman.

c.       Adanya pasukan pegawai kemanapun sang khalifah pergi.

d.      Adanya kebiasaan memakan hidangan  yang lezat dan mewah.

         Tata hidup di atas perlahan namun pasti membawa dampak negatif bagi umat Islam secara kekseluruhan, di antaranya adalah :

a.          Terputusnya ikatan batin seorang khalifah dengan rakyat.   Dikarenakan birokrasi yang sedemikian rumit, seperti adanya pengawalan ketat terhadap para khalifah.

b.      Menjamurnya kehidupan glamour pada khalifah. Dan ini merupakan salah satu               penyebab runtuhnya Dinasti Umayyah. [7]                                           Secara garis besarnya model pemerintahan Dinasti Umayyah dapat diamati berikut ini :

















Roda Pemerintahan




Dampak / Bentuk




1.


Model pemerintahan


Otoriter




2.


Cara hidup khalifah


Cara hidup kisra atau kaisar, terdapat jarak antara penguasa dan rakyat.




3.


Kondisi Baitul Mal


Menjadi milik penguasa dan keluarganya.




4.


Kebebasan mengeluarkan pendapat


Diibaratkan menutup  hati nurani rakyat, mengikat lidah mereka kecuali untuk mengucapkan pujian bagi penguasa.




5.


Peradilan


Dibawah kendali penguasa




6.


Budaya kesukuan / ashabiyah qaumiyah


Mulai muncul ashabiyah qaumiyah




7.


Hukum


Mulai agak melonggarkan apa yang telah diatur syariat.




2.      Model Pemerintahan Dawlah Abbasiyah.                                                                              Model pemerintahan yang diterapkan oleh  Abbasiyah bisa dikatakan asimilasi dari berbagai unsur. Ini terlihat jelas dari adanya periodesasi  atau tahapan pemerintahan Abbasiyah.

Namun demikian, kiranya perlu juga diketahui perbedaan ataupun persamaan dengan dinasti sebelumnya .









ABBASIYAH


UMAYYAH




Persamaan


Menerapkan sistem warisan pada proses pemilihan khalifah







Perbedaan


1.    Adanya  unsur non arab dalam sistem pemerintahannya adanya pengaruh persia dan turki

2.    Makin komplitnya struktur  pemerintahan

3.    Profesionalisme tentara mulai tertata


1.      Adanya dominasi unsur arab

2.      Sangat terbatas karena lebih fokus pada upaya ekspansi

3.      Belum tertata secara profesional dalam bidang ketentaraan ini.

















Pada pembahasan di atas dikatakan bahwa Abbasiyah mengalami beberapa periode yang masing-masing  mempunyai karakteristi sendiri.

a.       Periode awal atau periode Pengaruh Persia Pertama (750-847).

Telah dikatakan pada awal pembahasan bahwa salah ciri pemerintahan Abbasiyah adalah adanya unsur non Arab yang mempengaruhi pemerintahannya seperti Persia dan Turki. Pada awal pemerintahannya Abbasiyah lebih cenderung seperti pemerintahan persia dimana raja mempunyai kekuasaan absolut yang mendapat mandat dari Tuhan. Masa inilah yang mengantarkan Abbasiyah pada puncak kejayaannya.

b.      Periode lanjutan atau Turki Pertama ( 847-945).

Masa ini ditandai dengan kebangkitan orang Turki salah satu cirinya adalah orang Turki memegang jabatan penting dalam pemerintahan terbukti dengan dibangunnya kota Samarra oleh al-Mu’tasim. Sepeninggal al-Mutawakkal, para Jenderal Turki berhasil mengontrol  pemerintahan, sehingga khalifah hanay dijadikan sebagai “boneka” atau simbol seperti khalifah al-Muntashir, al-Mustain, al-Mu’tazz, al-Muuhtadi.

c.       Periode Buwaihiyah atau Pengaruh Persia Kedua ( 945-1055).

Masa ini berjalan lebih dari 150 tahun, namun secara de facto kekuasaan khalifah dilucuti dan bermunculan dinasti-dinasti baru. Kemunculan dinasti Buwaihiyah ini, pada awalnya untuk, menyelamatkan keselamatan khalifah yang telah jatuh sepenuhnya di bawah kekuasaan para pengawal yang berasal dari Turki.

d.      Periode Dinasti Saljukiyah atau Pengaruh Turki Kedua ( 1055-1157 ).

Masa ini berawal ketika Seljuk mengontrol kekuasaan Abbasiyah dengan mengalahkan Bani Buwaihiyah dan berakhir dengan adanya serbuan Mongol. Kekuasaan Seljuk berawal ketika penduduk Baghda marah atas tindakan Jenderal Arselan Basasieri yang memaksa  rakyat Baghdad untuk menganut Syiah dengan cara menahan khlaifah al-Qaim dan menghapuskan nama-nama khalifah Abbasiyah diganti dengan namakhalifah Fatimiah.

e.       Bebas dari Pengaruh Lain ( 1157-1258 ).

Setelah berakhirnya Masud bin Muhammad yang menghabisi kekuasaan Seljuk maka kekhalifahan Abbasiyah dikacau lagi dengan adanya kaum Khuarzamsyah dsari Turki yang dulunya menjadi pembantu  Seljuk yang kemudian menamakan diri dengan Atabeg ( Bapak Raja/Amir ).[8]












BAB III

PENUTUP

B.    Kesimpulan                                                                                                                           Pendiri kerajaan Dawlah ‘Abbasiyah ini ialah Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn al ‘Abbas, yang  lebih dikenal dengan al Shaffah. Latar belakang berdirinya pemerintahan ‘Abbasiyah sangat erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang dilancarkan oleh golongan Syi’ah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Gerakan mereka ini dilaksanakan melalui dua tahap, yakni:

1.      Gerakan secara rahasia dan diam-diam                                        

2.      Secara terang-terangan dan terbuka

C.   Saran                                                                                                                                      Penulis berharap makalah ini dapat berguna untuk pemakalah sendiri maupun bagi pembaca. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan dimasa yang akan datang.




DAFAR KEPUSTAKAAN

1.    Dra. Fatmawati, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Batusangkar, STAIN Batusangkar Press 2010).         




5.    Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung; Pustaka Setia, 2008).

6.    Istianah Abu Bakar, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam ( Malang, UIN Malang Press2008).







[1] Dra. Fatmawati, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Batusangkar, STAIN Batusangkar Press 2010) hal 226-231


[2] http://berkahujan.blogspot.com/2012/12/daulah-bani-abbasiyah.html


[3] Dra. Fatmawati, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Batusangkar, STAIN Batusangkar Press 2010)  hal  231-237




6. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2008., hlm. 152


[7]Istianah Abubakar, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam(Malang, UIN Malang Press 2008) hal 49-51


[8] Ibid 71-79
 

No comments:

Post a Comment

Organisasi Perkantoran

  Organisasi Perkantoran