Saturday, April 9, 2016

Pandangan Filsafat Tentang Hakekat Manusia Dan Pendidikan





Makalah
Filsafat Pendidikan

Tentang:
“Pandangan Filsafat Tentang Hakekat Manusia Dan Pendidikan”

Oleh Kelompok 1 :
Putra Nofirta
Panji Satriadi
Rhoni
Syamran
Vadly Ermansyah
Widi Setiawan
Zul Azhari Syah


Dosen Pembimbing:
Drs. Adripen, M.Pd



Prodi Manajemen Pendidikan Islam Jurusan Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Batusangkar 
2015



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan penulis semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Filsafat Pendidikan yang berjudul “Pandangan Filsafat Tentang Hakekat Manusia Dan Pendidikan.” dapat selesai seperti waktu yang telah penulis rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Drs. Adripen, M.Pd dosen mata kuliah Filsafat PendidikanSTAIN Batusangkar
2.      Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan
3.      Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar makalah ini dapat di selesaikan
Selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan  penyusun, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan. Makalah ini membahas tentang Pandangan Filsafat Tentang Hakekat Manusia Dan Pendidikan.
Tak ada gading yang tak retak Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penyusun harapkan untuk penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya.


Batusangkar , 10 Maret 2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia. Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.
Filsafat berperan memberikan inspirasi pada pendidikan, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep pada diri peserta didik.
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalamanmanusia.
B.     Rumusan masalah





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakekat manusia
1.      Pengertian hakekat Manusia
Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. Dari beberapa pendapat tentang pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan pada umumya sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau diselengarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke arah yang positif. Dengan pendidikan, diharapkan manusia dapat meningkat dan berkembang seluruh potensi atau bakat alamiahnya sehingga menjadi manusia yang relatif lebih baik, lebih berbudaya, dan lebih manusiawi. Agar kegiatan pendidikan lebih terarah, sehingga nantinya dapat berdaya guna dan berhasil guna, maka diperlukan pemahaman yang relatif utuh dan komprehensif tentang hakekat manusia.
Berbicara tentang hakekat manusia membawa kita berhadapan dengan pertanyaan sentral dan mendasar tentang manusia, yakni apakah dan siapakah manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut telah banyak upaya dilakukan, namun rupa-rupanya jawaban-jawaban itu secara dialektis melahirkan pertanyaan baru, sehingga upaya pemahaman manusia masih merupkan pokok yang problematis. Dengan ungkapan lain, manusia masih merupakan misteri bagi dirinya sendiri. Informasi penting sekitar kemesterian manusia dapat dilihat dalam buku berjudul Manusia, Sebuah Misteri, karya dari Louis Leahy (1989). Dalam beberapa sumber pustaka dapat ditemukan berbagai rumusan tentang manusia. Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat demikian dan itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari makna kehidupannya (der Weij, 1991: 7-8)
Drijarkara dalam bukunya Filsafat Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal, menghadapi kesukaran dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri dsb. Dia bisa bersatu dengan dirinya sendiri, dia juga bisa mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak berhadapan dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Lebih lanjut Drijarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia. Dengan ini dia menyejarah.
Ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens, homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal definisi tentang manusia, di antaranya, manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan animal educandum.
Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk multi dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah yang mau kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang antropolog? Atau yang lainnya? (Poespowardojo, 1978: 3)
Berdasarkan fakta tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini, yakni pola pemikiran biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola pemikiran teologis (lihat Basis Edisi Oktober 1980: 371-375). Penulis sendiri lebih memilih pola pemikiran yang keempat itu bukan pola pemikiran teologis, melainkan pola pemikiran religius. Hal ini didasarkan pada rumusan pengertian manusia sebagai homo religiosus. Sedangkan pola pemikiran biologis, psikologis dan sosial-budaya masih dapat dipertahankan.
a.       Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya. Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya smembentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan sesamanya.
b.      Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokohtokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual.
Menurut Binswanger, analisis Freud sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek budaya dari eksistensi manusia seperti,agama, seni, etika dan mitos. Freud menurut Binswanger, memahami kebudayaan secara negatif, yakni lebih sebagai penjinakan dorongan-dorongan alamiah daripada sebagai ungkapan potensi manusia untuk memberi arah pada hidupnya. Penelitian psikologis harus diarahkan pada kemampuan manusia untuk mengatasi dirinya sendiri dalam penggunaan kebebasannya yang menghasilkan keputusan-keputusan dasar. Freud dengan psikoanalisisnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula memang  sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini tidak memegang kendali atas “nasibnya” sendiri, tetapi tingkah lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya.
Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang manusia. Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap “nasib” dirinya sendiri. Sebaliknya, pandangan humanistik yang salah satu tokohnya adalah Rogers mengatakan bahwa manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk berbagai hal dapat menentukan “nasibnya” sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri.
Pandangan behavioristik pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol atau dikendalikan oleh faktorfaktor yang datang dari luar. Penentu tunggal dari tingkah laku manusia adalah lingkungan. Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dan lingkungannya.
Hubungan itu diatur oleh hokum-hukum belajar seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu tokoh dari pandangan ini adalah Skinner (Depdikbud, 1984/1985: 1-3). Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat, tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan itu, yakni pada saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal). Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda dengan desakan faktor eksternal. Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming sesuatu yang menggiurkan dari pihak lain.
c.       Manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Yang dimaksud reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung. Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras.
Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer (1990: 39-40) seorang filsuf kebudayaan abad 20. Dia merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi manusia dari Aristoteles, yakni zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial memang memberi pengertian umum tetapi bukan ciri khasnya (1990:.337). Begitu pula definisi manusia sebaai animal rationale dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacam-macamnya. Itulah mengapa dia menawarkan definisi manusia sebagai animal symbolicum yakni makhluk yang pandai membuat, memahami dan menggunakan symbol (1990: 40) Pada bagian lain Cassirer juga berpendapat bahwa ciri utama atau ciri khas manusia bukanlah kodrat fisik atau kodrat metafisiknya, melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem-sistem kegiatan manusiawilah yang menentukan dan membatasi dunia
d.      Manusia menurut pola pemikiran Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah renungan filsafat, 1982:38). Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang nonreligiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja.
Menurut Soerjanto Poespowardojo sebagaimana dimuat dalam Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia (1978: 3) bahwa untuk memahami manusia bukan dari kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil. Apakah yang dimaksud manusia wajar?
Menurut pelopor eksistensialisme Soren Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana dikutip oleh Poespowardojo dalam buku tersebut, bahwa manusia wajar adalah manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya.
Dengan membuka lingkup yang sewajarnya, seharusnya kita melihat manusia sebagai makhluk alamiah, “naturwesen’ yang merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang alamiah pula. Sebagai makhluk alamiah, maka manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia membutuhkan makanan agar badannya tetap segar dan sehat. Ia membutuhkan hiburan agar hidupnya menarik dan tidak membosankan. Ia pun perlu belajar dsb. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba butuh hal-hal yang fisik dan rohani. Adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus bekerja dan berkarya. Jelaslah di sini bahwa kerja dan berkarya mempunyai arti yang manusiawi. Dalam kerjalah tercermin mutu serta martabat manusia.
2.      Wujud Sifat Hakekat Manusia
Menurut kaum eksistensialis (dalam Tirta Raharja dan La Sulo, 1985: 4-11) wujud sifat hakekat manusia melputi:
a.       Kemampuan menyadari diri
Yakni bahwa manusia itu berbeda dengan makhluk lain, karena manusia mampu mengambil jarak dengan obyeknya termasuk mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Dia bisa mengambil jarak terhadap obyek di luar maupun ke dalam diri sendiri. Pengambilan jarak terhadap obyek di luar memungkinkan manusia menegmbangkan aspek sosialnya. Sedangkan pengambilan jarak terhadap diri sendiri, memungkinkaan manusia mengembangkan aspek individualnya.
b.      Kemampuan bereksistensi
Dengan kemampuan mengambil jarak dengan obyekya, berarti manusia mampu menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan hanya dalam kaitannya dengan soal ruang melainkan juga soal waktu. Manusia tidak terbelenggu oleh ruang (di ruang ini atau di sini), dia juga tidak terbelenggu oleh waktu (waktu ini atau sekarang ini), tetapi mampu menembus ke masa depan atau ke masa lampau. Kemampuan menempatkan diri dan menembus inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena mampu bereksistensi inilah, maka dalam dirinya terdapat unsure kebebasan.
c.        Kata hati
Kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik dan yang buruk bagi manusia sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik atau yang buruk, atau pun kemampuannya dalam mengambil keputusan tersebut dari sudut pandang tertentu saja, misalnya dari sudut kepentingannya sendiri dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan , yang sedang dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti pula akibat keputusannya baik atau buruk bagi manusia sebagai manusia..
d.      Tanggung jawab
Kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepadadiri  sendiri, kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan normanorma social, yang berarti siap menanggung sangsi social manakala tanggung jawab social itu tidak dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama, seperti siap menanggung perasaan berdosa, terkutuk dsb.
e.       Rasa kebebasan
Perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk tidak terikat oleh sesuatu, selain terikat (sesuai) dengan tuntutan kodrat manusia. Manusia bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan (sesuai) dengan tuntutan kodratnya sebagai manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya.
f.       Kewajiban dan hak
Dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain, karena yang satu mengandaikan yang lain. Hak tak ada tanpa kewajiban, dan sebaliknya. Dalam kenyataan sehari-hari, hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban sering diasosiasikan dengan beban. Ternyata, kewajiban itu suatu keniscayaan, artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia, maka wajib itu menjadi suatu keniscayaan, karena jika mengelaknya berarti dia mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk social.
g.      Kemampuan menghayati kebahagiaan
Bahwa kebahagiaan manusia itu tidak terletak pada keadaannya sendiri secara factual, atau pun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupannya atau kemampuannya menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu: usaha, norma-norma dan takdir.
3.      Unsur-unsur Hakekat Manusia
Menurut Notonagoro, manusia adalah makhluk monopluralis, maksudnya makhluk yang memiliki banyak unsur kodrat (plural), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Jadi, manusia terdiri dari banyak unsur kodrat yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Tetapi dilihat dari segi kedudukannya, susunannya, dan sifatnya masing-masing bersifat monodualis. Riciannya sebagai berikut: dilihat dari kedudukan kodratnya manusia adalah makhluk monodualis: terdiri dari dua unsur (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan (mono), yakni sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan Dilihat dari susunan kodratnya, manusia sebagai makhluk monodualis, maksudnya terdiri dari dua unsur yakni unsur raga dan unsur jiwa (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Dilihat dari sifat kodratnya, manusia juga sebagai makhluk monodualis, yakni terdiri dari unsur individual dan unsur sosial (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Secara keseluruhan, manusia adalah makhluk monopluralis seperti disebutkan di depan.[1]
B.     Filsafat pendidikan
1.      Pengertian filsafat pendidikan
a.       Filsafat pendidikan adalah pengethuan yang menyelidiki substansi pelaksanaan pendidikan yang berkaitan dengan tujuan,latar belakang,cara,hasil,dan hakikat ilmu pengetahuan yang berhungan dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya.
b.      Filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang memikirkan hakikat pendidikan secara komprensif dan kontemplatif tentang sumber,seluk beluk pendidikan,fungsi,dan tujuan pendidikan.
c.       Filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang mengkaji proses pendidikan dan teori pendidikan
d.      Filsafat pendidikan adalah pendidikan mengkaji hakikat guru dan anak didik dalam proses pembelajaran dikelas dan luar kelas.
Jadi menurut analisis kami filsafat pendidikan yaitu suatu ilmu yang mengkaji tentang hakikat pendidikan termasuk didalamnya guru,siswa dan perangkat lain yang berhungan dengan pendidikan dan juga berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan itu,apakah tujuan itu diperoleh melalui step atau langkah yang menggunakan akal sehat dan pemikiran kritis.
2.      Model- Model Filsafat
a.       Filsfat spekulatif
Adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada.filsafat ini tergolong filsafat traditional dianggap sebagai bangunan pengetahuan,filsafat spekulatif mencari keteraturan dan keseluruhan yang diterapkan,bukan pada suatu item pengalaman khusus,melainkan kepada semua pengalaman dan pengetahuan. Singkatnya filsafat spekulatif adalah suatu upaya mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman.
b.      Filsafat preskritif
Berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran standart  dan penilaian tentang nilai-nilai,penilaian tenntang perbuatan manusia dan penilaian tentang seni. Filsafat perspektif  menguji apa yang disebut baik dan jahat,benar dan salah,bagus dan jelek. Ia menyatakan bahwa nilai dari suatu benda pada dasarnya inheren dalam dirinya,atau hanya merupakan suatu gambaran dari pikiran manusia. Ahli filsafat perspektif berusaha menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip perbuatan yang bermanfaat.
c.       Filsafat analitik
Ada dua golongan: analitik linguistik dan analisis postivistik logis. Bahwa filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah. Para filosof memakai metoda analitik linguistik untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa.
3.      Hakikat pendidik dan peserta dididik.
a.       Pengertian Peserta Didik
Ada banyak istilah untuk menyebut peserta didik, di antaranya murid, siswa, santri, anak didik, mahasiswa dan lain-lain. Dalam istilah tasawuf peserta didik disebut dengan “murid” atau “thalib”. Secara etimologi murid berarti orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan istilah thalib secara bahasa adalah orang yang mencari. Sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi.
Adapula penyebutan peserta didik dengan sebutan anak didik. Dalam persepektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam:
1)      Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
2)      Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga formal maupun nonformal.
3)      Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis. Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Dalam paradigma Pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Adapula yang mendefinisikan peserta didik adalah orang yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan, bisa disebut sebagai murid, santri atau mahasiswa.
Sedangkan dalam pendidikan Islam peserta didik adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik, psikologis, sosial dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. anak kandug adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah pesrta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa peserta didik dalam pendidikan Islam tidak sebatas pada para anak didik, tetapi semua manusia adalah peserta didik, bahkan pendidikpun  dapat disebut peserta didik karena tidak ada manusia yang ilmunya mengungguli ilmu-ilmu Allah. Semua manusia harus terus belajar dan saling mengajar maka pantasnya semua manusia mengakui dirinya fakir dalam ilmu.

b.      Hakikat Peserta Didik
1)      Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa akan tetapi memiliki dunianya sendiri.
2)      Peserta didik adalah manusia yang memiliki  deferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembaangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik.
3)      Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
4)      Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (differensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun di mana dia berada.
5)      Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6)      Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

c.       Sifat-Sifat yang Harus Dipenuhi Peserta Didik
Al-Ghazali, yang telah dikutip oleh Abidin Ibnu Rush mengemukakan beberapa hal yang harus dipenuhi peserta didik dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:
1)      Belajar merupakan proses jiwa. Seorang siswa akan berhasil dalam belajarnya apabila ia mampu memahami bahwa belajar pada hakikatnya adalah proses jiwa, bukan proses fisik. Dari sinilah Al-Ghazali menyarankan agar murid (peserta didik) sebagai langkah pertama dalam belajarnya mensucikan jiwa dari  peilaku buruk, sifat-sifat tercela dan budi pekerti yang rendah.
2)      Belajar menuntuk konsentrasi. Murid memusatkan perhatiannya atau konsentrasi terhadap ilmu yang sedang dikaji dan dipelajarinya, ia harus mengurangi ketergantungannya kepada masalah keduniaan.
3)      Belajar harus didasari sikap tawadhu’. Murid harus mempunyai sikap tawadhu’ dan merendahkan diri terhadap ilmu dan guru, sebagai perantara diterimanya ilmu itu.
4)      Murid tidak melibatkan diri dalam perdebatan atau diskusi tentang segala ilmu sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkokoh pandangan dasar ilmu-ilmu itu.
5)      Murid hendaknya mampu memprekdisikan kehidupan yang akan datang berdasarkan kejadian sekarang dan silam.
6)      Belajar bertahap. Belajar haruslah secara tertib. Artinya, mendahulukan ilmu-ilmu yang berhak didahulukan dan mengemudiankan ilmu-ilmu yang memang harus dikemudiankan.
7)      Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah.. Murid dalam belajar bertujuan menjadi ilmuwan yang sanggup menyebarluaskan ilmunya demi nilai-nilai kemanusiaan.[2]
b.      Pendidik
Menurut Sutari Imam Barnadib, pendidik ialah : “Tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan”.
Selanjutnya ia menyebutkan bahwa pendidik ialah (1) orang tua, (2) orang dewasa lain betanggung jawab tentang kedewasaan anak.
Sedangkan Ahmad D. Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak yang kewajibannya tentang pendidikan siterdidik.
Harus pula diingat, bahwa pendidik juga adalah manusia biasa dengan segala sifat-sifat ketidaksempurnaan. Maka, sudah menjadi kewajiban bagi seorang pendidik untuk selalu introspeksi diri sendiri dari rreaksi siswa dalam proses dan hasil usaha pembelajaran. Sehingga pendidik tersebut tidak malu mendapat kritikan yang membangun bagi perbaikan diri dan proses pendidikan.[3]



[1] http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakikatmanusiafilsafatpendidikanIslam.pdf
[2] http://tockici.blogspot.com/2014/03/hakikat-peserta-didik-dalam-pendidikan.html
[3] http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/kumpulan-makalah-2/2008/05/01 /aliranfilsafatpendidikan/. [20 Oktober 2008]

No comments:

Post a Comment

Organisasi Perkantoran

  Organisasi Perkantoran