Makalah
Filsafat Pendidikan
Tentang:
“Pandangan Filsafat Tentang Hakekat
Manusia Dan Pendidikan”
Oleh
Kelompok 1 :
Putra
Nofirta
Panji
Satriadi
Rhoni
Syamran
Vadly
Ermansyah
Widi
Setiawan
Zul Azhari
Syah
Dosen
Pembimbing:
Drs.
Adripen, M.Pd
Prodi
Manajemen Pendidikan Islam Jurusan Tarbiyah
Batusangkar
2015
2015
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan penulis
semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Filsafat Pendidikan yang berjudul “Pandangan
Filsafat Tentang Hakekat Manusia Dan Pendidikan.” dapat selesai
seperti waktu yang telah penulis rencanakan. Tersusunnya
makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Adripen, M.Pd dosen mata kuliah Filsafat PendidikanSTAIN Batusangkar
2.
Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada
penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan
3.
Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan
semangat agar makalah ini dapat di selesaikan
Selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan
penyusun, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat
Pendidikan. Makalah ini membahas tentang Pandangan Filsafat Tentang Hakekat Manusia
Dan Pendidikan.
Tak ada gading yang tak retak Penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penyusun harapkan untuk
penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya.
Batusangkar , 10 Maret 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pendidikan memiliki peran yang
sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia. Pendidikan berintikan interaksi
antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan
pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta
proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan
pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana
proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang
membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban
filosofis.
Filsafat berperan memberikan inspirasi pada pendidikan, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep pada diri peserta didik.
Filsafat berperan memberikan inspirasi pada pendidikan, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep pada diri peserta didik.
Secara harfiah, kata filsafat
berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu
atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat
bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalamanmanusia.
B.
Rumusan masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat manusia
1.
Pengertian hakekat Manusia
Secara
faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan
untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. Dari beberapa pendapat tentang
pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan pada umumya sepakat bahwa
pendidikan itu diberikan atau diselengarakan dalam rangka mengembangkan seluruh
potensi kemanusiaan ke arah yang positif. Dengan pendidikan, diharapkan manusia
dapat meningkat dan berkembang seluruh potensi atau bakat alamiahnya sehingga
menjadi manusia yang relatif lebih baik, lebih berbudaya, dan lebih manusiawi.
Agar kegiatan pendidikan lebih terarah, sehingga nantinya dapat berdaya guna
dan berhasil guna, maka diperlukan pemahaman yang relatif utuh dan komprehensif
tentang hakekat manusia.
Berbicara
tentang hakekat manusia membawa kita berhadapan dengan pertanyaan sentral dan
mendasar tentang manusia, yakni apakah dan siapakah manusia itu? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut telah banyak upaya dilakukan, namun rupa-rupanya
jawaban-jawaban itu secara dialektis melahirkan pertanyaan baru, sehingga upaya
pemahaman manusia masih merupkan pokok yang problematis. Dengan ungkapan lain,
manusia masih merupakan misteri bagi dirinya sendiri. Informasi penting sekitar
kemesterian manusia dapat dilihat dalam buku berjudul Manusia, Sebuah
Misteri, karya dari Louis Leahy (1989). Dalam beberapa sumber pustaka dapat
ditemukan berbagai rumusan tentang manusia. Manusia adalah makhluk yang pandai
bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia
seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat demikian dan itulah salah satu alasan
mengapa manusia menjulang tinggi di atas binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang
keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia
mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa
ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari
makna kehidupannya (der Weij, 1991: 7-8)
Drijarkara
dalam bukunya Filsafat Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, tetapi
juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal, menghadapi kesukaran
dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan
diri sendiri dsb. Dia bisa bersatu dengan dirinya sendiri, dia juga bisa mengambil
jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu, manusia juga makhluk yang
berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga
berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya,
bisa merubah dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak
berhadapan dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa
memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Lebih lanjut Drijarkara
mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus situasi
konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena dirubah oleh situasi
itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat
dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia. Dengan ini dia
menyejarah.
Ilmu-ilmu
kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar
tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan
pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan
atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens,
homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan
ungkapan yang berbeda kita mengenal definisi tentang manusia, di antaranya,
manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan animal
educandum.
Banyaknya
definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk multi
dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah yang mau
kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah wajah
manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata
seorang antropolog? Atau yang lainnya? (Poespowardojo, 1978: 3)
Berdasarkan
fakta tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang
manusia sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini, yakni pola pemikiran
biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola pemikiran
teologis (lihat Basis Edisi Oktober 1980: 371-375). Penulis sendiri
lebih memilih pola pemikiran yang keempat itu bukan pola pemikiran teologis,
melainkan pola pemikiran religius. Hal ini didasarkan pada rumusan pengertian
manusia sebagai homo religiosus. Sedangkan pola pemikiran
biologis, psikologis dan sosial-budaya masih dapat dipertahankan.
a. Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia dan
kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam
pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan
sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan
tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia
yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya.
Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses
sosial-budaya. Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya smembentuk
keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis
binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh
alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami dari sisi internalitas,
yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan bentuk lahiriah
tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan sesamanya.
b. Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan
antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis
tertentu, misalnya fenomenologi. Tokohtokoh yang berpengaruh besar pada pola
ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger
mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari
psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan
pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi,
nafsu dan dorongan seksual.
Menurut Binswanger, analisis Freud
sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek budaya dari eksistensi
manusia seperti,agama, seni, etika dan mitos. Freud menurut Binswanger,
memahami kebudayaan secara negatif, yakni lebih sebagai penjinakan
dorongan-dorongan alamiah daripada sebagai ungkapan potensi manusia untuk
memberi arah pada hidupnya. Penelitian psikologis harus diarahkan pada
kemampuan manusia untuk mengatasi dirinya sendiri dalam penggunaan kebebasannya
yang menghasilkan keputusan-keputusan dasar. Freud dengan psikoanalisisnya
berpendapat bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari
dalam dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah laku individu ditentukan dan
dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula memang sudah ada pada diri individu itu. Individu
dalam hal ini tidak memegang kendali atas “nasibnya” sendiri, tetapi tingkah
lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink
biologisnya.
Pandangan Freud tersebut ditentang oleh
pandangan humanistik tentang manusia. Pandangan humanistik menolak pandangan
Freud yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak
tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap “nasib” dirinya sendiri.
Sebaliknya, pandangan humanistik yang salah satu tokohnya adalah Rogers
mengatakan bahwa manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk berbagai hal
dapat menentukan “nasibnya” sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri.
Pandangan behavioristik pada dasarnya
menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya
dikontrol atau dikendalikan oleh faktorfaktor yang datang dari luar. Penentu
tunggal dari tingkah laku manusia adalah lingkungan. Dengan demikian,
kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara
individu dan lingkungannya.
Hubungan itu diatur oleh hokum-hukum belajar
seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu tokoh dari
pandangan ini adalah Skinner (Depdikbud, 1984/1985: 1-3). Dari ketiga pandangan
yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya
lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme
lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik
lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena
pengaruh faktor internal maupun eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak
serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal,
karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang
berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat, tetapi manusia bisa mengarahkan
dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan itu, yakni pada
saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau
otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal).
Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda
dengan desakan faktor eksternal. Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming
sesuatu yang menggiurkan dari pihak lain.
c.
Manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini
tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan
kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak
hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu
tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya
memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi
pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Yang dimaksud reduksi
pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan
tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang
melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung.
Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang
menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya,
kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan,
karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras.
Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam
pola ini adalah Ernst Cassirer (1990: 39-40) seorang filsuf kebudayaan abad 20.
Dia merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai
menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi manusia dari Aristoteles, yakni zoon
politicon, manusia adalah makhluk sosial memang memberi pengertian umum
tetapi bukan ciri khasnya (1990:.337). Begitu pula definisi manusia sebaai animal
rationale dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai untuk memahami
bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacam-macamnya.
Itulah mengapa dia menawarkan definisi manusia sebagai animal symbolicum yakni
makhluk yang pandai membuat, memahami dan menggunakan symbol (1990: 40) Pada
bagian lain Cassirer juga berpendapat bahwa ciri utama atau ciri khas manusia
bukanlah kodrat fisik atau kodrat metafisiknya, melainkan karyanya. Karyanyalah,
sistem-sistem kegiatan manusiawilah yang menentukan dan membatasi dunia
d.
Manusia menurut pola pemikiran Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari
pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah
Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam
buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah renungan filsafat, 1982:38).
Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam
suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati
sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam
tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini
selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara
hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo
non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang
hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya,
yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang
nonreligiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja.
Menurut Soerjanto Poespowardojo
sebagaimana dimuat dalam Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat
Manusia (1978: 3) bahwa untuk memahami manusia bukan dari kacamata seorang
antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi
perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi
manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan
dalam konteks kenyataan yang riil. Apakah yang dimaksud manusia wajar?
Menurut pelopor eksistensialisme Soren
Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana dikutip oleh
Poespowardojo dalam buku tersebut, bahwa manusia wajar adalah manusia konkret,
seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan
kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya.
Dengan membuka lingkup yang sewajarnya,
seharusnya kita melihat manusia sebagai makhluk alamiah, “naturwesen’ yang
merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu memiliki sifat-sifat dan tunduk
kepada hukum yang alamiah pula. Sebagai makhluk alamiah, maka manusia mempunyai
kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia membutuhkan makanan agar badannya tetap segar
dan sehat. Ia membutuhkan hiburan agar hidupnya menarik dan tidak membosankan.
Ia pun perlu belajar dsb. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang serba butuh hal-hal yang fisik dan rohani. Adanya
kebutuhan-kebutuhan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang
belum selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus bekerja dan
berkarya. Jelaslah di sini bahwa kerja dan berkarya mempunyai arti yang
manusiawi. Dalam kerjalah tercermin mutu serta martabat manusia.
2.
Wujud Sifat Hakekat Manusia
Menurut kaum eksistensialis (dalam Tirta
Raharja dan La Sulo, 1985: 4-11) wujud sifat hakekat manusia melputi:
a. Kemampuan menyadari diri
Yakni bahwa manusia itu berbeda dengan
makhluk lain, karena manusia mampu mengambil jarak dengan obyeknya termasuk
mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Dia bisa mengambil jarak terhadap
obyek di luar maupun ke dalam diri sendiri. Pengambilan jarak terhadap obyek di
luar memungkinkan manusia menegmbangkan aspek sosialnya. Sedangkan pengambilan
jarak terhadap diri sendiri, memungkinkaan manusia mengembangkan aspek
individualnya.
b. Kemampuan bereksistensi
Dengan kemampuan mengambil jarak dengan
obyekya, berarti manusia mampu menembus atau menerobos dan mengatasi
batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan hanya dalam
kaitannya dengan soal ruang melainkan juga soal waktu. Manusia tidak
terbelenggu oleh ruang (di ruang ini atau di sini), dia juga tidak terbelenggu
oleh waktu (waktu ini atau sekarang ini), tetapi mampu menembus ke masa depan
atau ke masa lampau. Kemampuan menempatkan diri dan menembus inilah yang
disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena mampu bereksistensi inilah, maka
dalam dirinya terdapat unsure kebebasan.
c. Kata hati
Kata hati adalah kemampuan membuat
keputusan tentang yang baik dan yang buruk bagi manusia sebagai manusia. Orang
yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan
tentang yang baik atau yang buruk, atau pun kemampuannya dalam mengambil
keputusan tersebut dari sudut pandang tertentu saja, misalnya dari sudut
kepentingannya sendiri dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Manusia memiliki
pengertian yang menyertai tentang apa yang akan , yang sedang dan yang telah dibuatnya,
bahkan mengerti pula akibat keputusannya baik atau buruk bagi manusia sebagai
manusia..
d. Tanggung jawab
Kesediaan untuk menanggung akibat dari
perbuatan yang menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacam-macam. Ada
tanggung jawab kepadadiri sendiri,
kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti
menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam.
Tanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan normanorma social,
yang berarti siap menanggung sangsi social manakala tanggung jawab social itu
tidak dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma
agama, seperti siap menanggung perasaan berdosa, terkutuk dsb.
e. Rasa kebebasan
Perasaan yang dimiliki oleh manusia
untuk tidak terikat oleh sesuatu, selain terikat (sesuai) dengan tuntutan
kodrat manusia. Manusia bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan (sesuai)
dengan tuntutan kodratnya sebagai manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya
kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya,
dan menjiwai segenap perbuatannya.
f. Kewajiban dan hak
Dua macam gejala yang timbul sebagai
manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Keduanya tidak bisa dilepaskan
satu sama lain, karena yang satu mengandaikan yang lain. Hak tak ada tanpa
kewajiban, dan sebaliknya. Dalam kenyataan sehari-hari, hak sering
diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban sering
diasosiasikan dengan beban. Ternyata, kewajiban itu suatu keniscayaan, artinya,
selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia,
maka wajib itu menjadi suatu keniscayaan, karena jika mengelaknya berarti dia
mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk social.
g. Kemampuan menghayati kebahagiaan
Bahwa kebahagiaan manusia itu tidak terletak
pada keadaannya sendiri secara factual, atau pun pada rangkaian prosesnya, maupun
pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupannya atau kemampuannya
menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal
tersebut dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu: usaha, norma-norma dan takdir.
3.
Unsur-unsur Hakekat Manusia
Menurut Notonagoro, manusia adalah
makhluk monopluralis, maksudnya makhluk yang memiliki banyak unsur kodrat (plural),
tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Jadi, manusia terdiri dari
banyak unsur kodrat yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Tetapi dilihat dari
segi kedudukannya, susunannya, dan sifatnya masing-masing bersifat monodualis.
Riciannya sebagai berikut: dilihat dari kedudukan kodratnya manusia adalah
makhluk monodualis: terdiri dari dua unsur (dualis), tetapi merupakan satu
kesatuan (mono), yakni sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai
makhluk Tuhan Dilihat dari susunan kodratnya, manusia sebagai makhluk monodualis,
maksudnya terdiri dari dua unsur yakni unsur raga dan unsur jiwa (dualis), tetapi
merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Dilihat dari sifat kodratnya, manusia
juga sebagai makhluk monodualis, yakni terdiri dari unsur individual dan unsur
sosial (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Secara
keseluruhan, manusia adalah makhluk monopluralis seperti disebutkan di depan.[1]
B. Filsafat
pendidikan
1. Pengertian
filsafat pendidikan
a. Filsafat
pendidikan adalah pengethuan yang menyelidiki substansi pelaksanaan pendidikan
yang berkaitan dengan tujuan,latar belakang,cara,hasil,dan hakikat ilmu
pengetahuan yang berhungan dengan analisis kritis terhadap struktur dan
kegunaannya.
b. Filsafat
pendidikan adalah pengetahuan yang memikirkan hakikat pendidikan secara
komprensif dan kontemplatif tentang sumber,seluk beluk pendidikan,fungsi,dan
tujuan pendidikan.
c. Filsafat
pendidikan adalah pengetahuan yang mengkaji proses pendidikan dan teori
pendidikan
d. Filsafat
pendidikan adalah pendidikan mengkaji hakikat guru dan anak didik dalam proses
pembelajaran dikelas dan luar kelas.
Jadi menurut analisis kami filsafat
pendidikan yaitu suatu ilmu yang mengkaji tentang hakikat pendidikan termasuk
didalamnya guru,siswa dan perangkat lain yang berhungan dengan pendidikan dan
juga berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan itu,apakah
tujuan itu diperoleh melalui step atau langkah yang menggunakan akal sehat dan
pemikiran kritis.
2. Model-
Model Filsafat
a. Filsfat
spekulatif
Adalah cara berfikir sistematis tentang
segala yang ada.filsafat ini tergolong filsafat traditional dianggap sebagai
bangunan pengetahuan,filsafat spekulatif mencari keteraturan dan keseluruhan
yang diterapkan,bukan pada suatu item pengalaman khusus,melainkan kepada semua
pengalaman dan pengetahuan. Singkatnya filsafat spekulatif adalah suatu upaya
mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan
pengalaman.
b. Filsafat
preskritif
Berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran
standart dan penilaian tentang
nilai-nilai,penilaian tenntang perbuatan manusia dan penilaian tentang seni.
Filsafat perspektif menguji apa yang
disebut baik dan jahat,benar dan salah,bagus dan jelek. Ia menyatakan bahwa
nilai dari suatu benda pada dasarnya inheren dalam dirinya,atau hanya merupakan
suatu gambaran dari pikiran manusia. Ahli filsafat perspektif berusaha
menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip perbuatan yang bermanfaat.
c. Filsafat
analitik
Ada dua golongan: analitik linguistik
dan analisis postivistik logis. Bahwa filsafat sebagai analisis logis tentang
bahasa dan penjelasan makna istilah. Para filosof memakai metoda analitik
linguistik untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa.
3. Hakikat pendidik dan peserta
dididik.
a. Pengertian
Peserta Didik
Ada banyak istilah untuk menyebut
peserta didik, di antaranya murid, siswa, santri, anak didik, mahasiswa dan
lain-lain. Dalam istilah tasawuf peserta didik disebut dengan “murid” atau “thalib”.
Secara etimologi murid berarti orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti
terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang
pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan istilah thalib secara
bahasa adalah orang yang mencari. Sedang menurut istilah tasawuf adalah
penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk
mencapai derajat sufi.
Adapula penyebutan peserta didik
dengan sebutan anak didik. Dalam persepektif filsafat pendidikan Islam, hakikat
anak didik terdiri dari beberapa macam:
1)
Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah
pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di
dalam keluarga.
2)
Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan
pendidik di lembaga formal maupun nonformal.
3)
Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di
lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat,
pembelajaran dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Peserta didik secara formal adalah
orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara
fisik maupun psikis. Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang
berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan
jenis pendidikan tertentu.
Dalam paradigma Pendidikan Islam,
peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi
(kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik
merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian-bagian lainnya. Adapula yang
mendefinisikan peserta didik adalah orang yang menuntut ilmu di lembaga
pendidikan, bisa disebut sebagai murid, santri atau mahasiswa.
Sedangkan dalam pendidikan Islam
peserta didik adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara
fisik, psikologis, sosial dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan
akhirat. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu
yang belum dewasa yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya
dewasa. anak kandug adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah pesrta
didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya
dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
peserta didik dalam pendidikan Islam tidak sebatas pada para anak didik, tetapi
semua manusia adalah peserta didik, bahkan pendidikpun dapat disebut
peserta didik karena tidak ada manusia yang ilmunya mengungguli ilmu-ilmu
Allah. Semua manusia harus terus belajar dan saling mengajar maka pantasnya
semua manusia mengakui dirinya fakir dalam ilmu.
b.
Hakikat Peserta Didik
1) Peserta didik
bukanlah miniatur orang dewasa akan tetapi memiliki dunianya sendiri.
2) Peserta didik
adalah manusia yang memiliki deferensiasi periodesasi perkembangan dan
pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas
kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembaangan
yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik.
3) Peserta didik
adalah manusia yang memiliki kebutuhan baik yang menyangkut kebutuhan jasmani
maupun rohani yang harus dipenuhi.
4) Peserta didik
adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (differensiasi
individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun di mana dia
berada.
5) Peserta didik
merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6) Peserta didik
adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan
dan berkembang secara dinamis.
c.
Sifat-Sifat yang Harus Dipenuhi
Peserta Didik
Al-Ghazali,
yang telah dikutip oleh Abidin Ibnu Rush mengemukakan beberapa hal yang harus
dipenuhi peserta didik dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:
1)
Belajar merupakan proses jiwa. Seorang siswa
akan berhasil dalam belajarnya apabila ia mampu memahami bahwa belajar pada
hakikatnya adalah proses jiwa, bukan proses fisik. Dari sinilah Al-Ghazali
menyarankan agar murid (peserta didik) sebagai langkah pertama dalam belajarnya
mensucikan jiwa dari peilaku buruk, sifat-sifat tercela dan budi pekerti
yang rendah.
2)
Belajar menuntuk konsentrasi. Murid memusatkan
perhatiannya atau konsentrasi terhadap ilmu yang sedang dikaji dan
dipelajarinya, ia harus mengurangi ketergantungannya kepada masalah keduniaan.
3)
Belajar harus didasari sikap tawadhu’. Murid
harus mempunyai sikap tawadhu’ dan merendahkan diri terhadap ilmu dan
guru, sebagai perantara diterimanya ilmu itu.
4)
Murid tidak melibatkan diri dalam perdebatan
atau diskusi tentang segala ilmu sebelum terlebih dahulu mengkaji dan
memperkokoh pandangan dasar ilmu-ilmu itu.
5)
Murid hendaknya mampu memprekdisikan kehidupan
yang akan datang berdasarkan kejadian sekarang dan silam.
6)
Belajar bertahap. Belajar haruslah secara
tertib. Artinya, mendahulukan ilmu-ilmu yang berhak didahulukan dan
mengemudiankan ilmu-ilmu yang memang harus dikemudiankan.
7)
Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah.. Murid
dalam belajar bertujuan menjadi ilmuwan yang sanggup menyebarluaskan ilmunya
demi nilai-nilai kemanusiaan.[2]
b. Pendidik
Menurut
Sutari Imam Barnadib, pendidik ialah : “Tiap orang yang dengan sengaja
mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan”.
Selanjutnya ia menyebutkan bahwa pendidik ialah (1) orang tua, (2) orang dewasa lain betanggung jawab tentang kedewasaan anak.
Selanjutnya ia menyebutkan bahwa pendidik ialah (1) orang tua, (2) orang dewasa lain betanggung jawab tentang kedewasaan anak.
Sedangkan
Ahmad D. Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul pertanggung
jawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak yang kewajibannya
tentang pendidikan siterdidik.
Harus
pula diingat, bahwa pendidik juga adalah manusia biasa dengan segala
sifat-sifat ketidaksempurnaan. Maka, sudah menjadi kewajiban bagi seorang
pendidik untuk selalu introspeksi diri sendiri dari rreaksi siswa dalam proses
dan hasil usaha pembelajaran. Sehingga pendidik tersebut tidak malu mendapat
kritikan yang membangun bagi perbaikan diri dan proses pendidikan.[3]
No comments:
Post a Comment